Kasus 1 : Pembajakan Software di Indonesia
Saat ini kasus pembajakan Software di Indonesia semakin meningkat seiring dengan bertambahnya SDM para pengguna softwarenya. Akan tetapi dalam hal ini SDM yang meningkat adalah SDM yang digunakan untuk bajak membajak, SDM untuk melakukan crack pada software-software yang dibuat oleh penciptanya. Terkadang seorang lulusan sarjana komputer atau informatika pun juga hobby melakukan bajak membajak. Bahkan pada tahun 2007 Berdasarkan laporan Business Software Alliance (BSA) dan International Data Corporation(IDC) dalam Annual Global Software Piracy Study, Indonesia merupakan Negara terbesar ke 12 di dunia dengan tingkat pembajakan software. Persentasenya cukup mengkhawatirkan yakni mencapai 84 persen. Misalnya dari 100 komputer yang diteliti, sebanyak 84 buah diantaranya menggunakan software ilegal. Fenomena ini sangat menyedihkan karena pembajakan ini mematikan kreasi dan industri software itu sendiri. Saat ini Indonesia diperkirakan memiliki sekitar 300 perusahaan yang bergerak di sektor Teknologi Informasi (TI). Dan dari jumlah itu, hanya 10 perusahaan lokal yang bergerak di industri software, sisanya lebih banyak berkecimpung diluar software, misalnya perusahaan sistem integrasi dan service dan perusahaan distributor produk hardware. Minimnya jumlah industri software di tanah air dikarenakan seluruh pengembang software local merasa sangat dirugikan oleh pembajakan. Maraknya pembajakan software telah menyebabkan rendahnya kreativitas di industri bidang software ini.
Kasus 2 : Tari Pendet Diklaim Milik Malaysia
Seperti yang kita ketahui Kalangan seniman Bali memprotes klaim Malaysia atas tari pendet atau tari selamat datang yang digunakan dalam tayangan iklan Visit Malaysia
2009.
Tindakan tersebut dinilai sebagai pencurian atas kekayaan budaya masyarakat Bali. Selain kalangan seniman, protes yang digelar di Taman Budaya Denpasar
itu juga dihadiri sesepuh penari Bali, kalangan akademisi, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Bali,Ida Ayu Agung Mas. “Sudah ratusan tahun
masyarakat Bali memainkan tari pendet,” ujar seniman tari yang juga Guru Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Prof Wayan Dibia, MA.
Protes terhadap sikap Malaysia yang dinilai mengklaim tari pendet Bali itu dipimpin Wayan Dibia dan disampaikan ke Ida Ayu Agung Mas. Dibia mengungkapkan,
pada awalnya tari pendet merupakan tarian sakral yang dimainkan pada ritual keagamaan,yakni untuk menyambut turunnya dewa dari kayangan. Namun pada 1950,
tarian tersebut boleh digunakan untuk tari penyambutan tamu dengan sebutan tari pendet puja astuti. Oleh penciptanya,Ni Ketut Reneng dan I Wayan Rindi,tari
pendet digunakan sebagai pertunjukan turistik di Bali Hotel Denpasar.
Dalam pertunjukan perdana itu, tari pendet dimainkan empat penari, yakni Ni Luh Roni,Gusti Putu Sita, Ni Wayan Merti, dan Ni Ketut Arini. “Saat itu, tari
pendet mendapat sambutan luar biasa,” kenang Ketut Arini. Arini menambahkan, pada 1961, tari pendet dikembangkan koreografinya oleh I Wayan Beratha dengan
komposisi lima hingga tujuh penari. Penyempurnaan itu lagi-lagi mendapat apresiasi. Bahkan pada 1962, tari pendet dipertontonkan secara kolosal dengan
komposisi 800 penari dalam pembukaan Asian Games di Jakarta.
Mengacu pada sisi sejarah inilah Arini mengaku sangat tidak terima jika kekayaan budaya Bali tersebut dicuri begitu saja oleh Malaysia. Sesepuh penari
Bali ini lantas mengajak dua muridnya memeragakan tari pendet guna membuktikan tarian tersebut merupakan kekayaan budaya masyarakat Bali.
Anggota DPD dari Bali,Ida Ayu Agung Mas, menegaskan siap membawa aspirasi seniman Bali ke pusat untuk menjadi protes resmi dari lembaga negara di Indonesia.
Dia mengaku prihatin atas klaim Malaysia terhadap tari pendet. “Dalam waktu dekat kami akan sampaikan protes resmi kepada Kedutaan Malaysia di Indonesia
untuk minta klaim itu segera dicabut,” tandasnya.
Ayu Mas juga meminta pemerintah mendata ulang kekayaan budaya Nusantara yang terpencar dan tidak terdeteksi agar bisa secepatnya diberikan perlindungan
melalui penerbitan hak cipta. Dengan begitu, kekayaan budaya bangsa tidak bisa sembarangan diklaim oleh bangsa lain. “Kasuskasus serupa sebelumnya seharusnya
menyadarkan pemerintah untuk cepat bertindak,”ujarnya. Kasus tari pendet juga memantik reaksi keras anggota DPR.
Pemerintah didesak untuk mengambil langkah lebih lanjut mengenai klaim Malaysia terhadap tari pendet yang ditayangkan dalam iklan Visit Malaysia 2009.
Jika perlu membawa masalah ini ke hukum internasional. Anggota Komisi X DPR Hafidz Ma'soem mengatakan, sudah sepantasnya pemerintah mendesak Menteri Kebudayaan
dan Pariwisata untuk merebut kembali tari pendet yang nyata-nyata merupakan tari dari Bali.
“Segera desak kepada menteri untuk tegas atas seni budaya yang diambil bangsa asing dan menuntut hak kita di mata dunia,”kata Hafidz saat dihubungi kemarin.
Dia mengatakan, opini internasional saat ini sudah terbentuk bahwa Indonesia sebagai negara yang memiliki banyak ragam budaya sering dirampok oleh negara
lain.“Jadi sikap pemerintah harus tegas dengan menyerahkannya ke dalam mekanisme hukum internasional,” imbuhnya.
Hafidz mengaku merasa sedih dengan perlakuan Malaysia terhadap budaya-budaya milik Indonesia.“ Sebagai warga negara Indonesia, saya sangat menyesalkan
dan menyayangkan karena adanya pengklaiman sepihak bahwa tari pendet diklaim sebagai milik.
Komentar mengenai kasus Hak Kekayaan Intelektual :
Pada kasus pertama yaitu Pembajakan Software di Indonesia, kita semua tahu bahwa pembajakan itu sangat merugikan pihak lain. Coba bayangkan, apabila kita yang membuat software dengan susah payah, memerlukan waktu yang sangat lama, dan seharusnya software buatan kita itu dapat menghasilkan nilai jual yang sangat tinggi, namun software buatan kita itu malah di sebar luaskan tanpa diberi imbalan sepeser pun, bagaimana perasaan kita? Oleh karena itu, menurut saya apabila kita belum mampu membeli software asli maka janganlah membeli software bajakan. Sekarang ini sudah banyak yang menyediakan software open source atau software gratis. Lebih baik menggunakan software yang gratis dari pada menggunakan software yang bajakan.
Pada kasus kedua yaitu Tari Pendet Diklaim Milik Malaysia, menurut saya Pemerintah tergolong sangat lambat dalam bertindak dan terkesan tidak terlalu memperhatikan serta melindungi warisan budaya Negara Indonesia. Klaim kebudayaan Indonesia oleh Malaysia tidak hanya tari pendet saja. Sebelumnya, tari Reog, lagu Rasa Sayange, batik, Hombo Batu, Tari Folaya diklaim oleh Malaysia, dan kini tari pendet diklaim. Jika tidak ada klaim dari Malaysia, mungkin Pemerintah tidak akan pernah memperhatikan budaya asli Indonesia. Selain itu juga kita sebagai Warga Negara wajib melindungi budaya asli Indonesia, serta melestarikannya agar tidak punah. Kita tidak boleh lengah sehingga warisan budaya asli Negara Indonesia dapat diklaim oleh Negara-Negara lain dengan mudah. Di zaman sekarang, budaya-budaya asli khas Indonesia memang mulai terpinggirkan. Seni tradisi Indonesia dianggap kuno, kolot, dan membosankan. Karena itu, menjadi tugas pemerintah untuk menghidupkan kembali gerakan cinta budaya dengan program-program yang lebih nyata, terstruktur, terjadwal, serta konsisten sehingga budaya negeri ini lebih dicintai baik oleh rakyat maupun aparat pemerintah itu sendiri.