Selasa, 30 November 2010

DEMOKRASI EKONOMI DAN DEMOKRASI INDUSTRIAL

Akhir-akhir ini semakin luas dibahas sistem Ekonomi Syariah yang dianggap lebih adil dibanding sistem ekonomi yang berlaku sekarang khususnya sejak 1966 (Orde Baru) yang berciri kapitalistik dan bersifat makin liberal, yang setelah kebablasan kemudian meledak dalam bentuk bom waktu berupa krismon tahun 1997. Krismon yang menghancurkan sektor perbankan modern kini tidak saja telah menciutkan jumlah bank menjadi kurang dari separo, dari 240 menjadi kurang dari 100 buah, tetapi juga sangat mengurangi peran bank dalam perekonomian nasional.

Dalam pada itu Sistem Ekonomi Pancasila yang bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (sila ke-5) jelas berorientasi pada etika (Ketuhanan Yang Maha Esa), dan kemanusiaan, dengan cara-cara nasionalistik dan kerakyatan (demokrasi). Secara utuh Pancasila berarti gotong-royong, sehingga sistem ekonominya bersifat kooperatif/ kekeluargaan/ tolong-menolong.

Jika suatu masyarakat/negara/bangsa, warganya merasa sistem ekonominya berkembang ke arah yang timpang dan tidak adil, maka aturan mainnya harus dikoreksi agar menjadi lebih adil sehingga mampu membawa perekonomian ke arah keadilan ekonomi dan sekaligus keadilan sosial.


Profit-Sharing dan Employee Participation. Prinsip profit-sharing atau bagi-bagi keuntungan dan resiko yang jelas merupakan ajaran Sistem Ekonomi Syariah dan Sistem Ekonomi Pancasila sebenarnya sudah diterapkan di sejumlah negara maju (welfare state) yang merasa bahwa penerapan prinsip profit-sharing dan employee participation lebih menjamin ketentraman dan ketenangan usaha dan tentu saja menjamin keberlanjutan suatu usaha.

Economic democracy is typically used to denote a variety of forms of employee participation in the ownership of enterprises and in the distribution of economic rewards;

Industrial democracy refers to the notion of worker participation in decision-making and employee involvement in the processes of control within the firm. (Poole 1989: 2)

Meskipun pengertian economic democracy jelas lebih luas dari industrial democracy namun keduanya bisa diterapkan sebagai asas atau “style” manajemen satu perusahaan yang jika dilaksanakan dengan disiplin tinggi akan menghasilkan kepuasan semua pihak (stakeholders) yang terlibat dalam perusahaan. Itulah demokrasi industrial yang tidak lagi menganggap modal dan pemilik modal sebagai yang paling penting dalam perusahaan, tetapi dianggap sederajat kedudukannya dengan buruh/tenaga kerja, yang berarti memberikan koreksi atau reformasi pada kekurangan sistem kapitalisme lebih-lebih yang bersifat neoliberal.

Prinsip employee participation yaitu partisipasi buruh/karyawan dalam pengambilan keputusan perusahaan sangat erat kaitannya dengan asas profit-sharing. Adanya partisipasi buruh/karyawan dalam decision-making perusahaan berarti buruh/karyawan ikut bertanggung jawab atas diraihnya keuntungan atau terjadinya kerugian.

Banyak perusahaan di negara kapitalis yang menganut bentuk negara kesejahteraan (welfare state) telah menerapkan prinsip profit-sharing dan employee participation ini, dan yang paling jelas diantaranya adalah bangun perusahaan koperasi, baik koperasi produksi maupun koperasi konsumsi, terutama di negara-negara Skandinavia.

Mengapa profit-sharing dan share-ownership? Berdasarkan penelitian 303 perusahaan di Inggris, alasan perusahaan mengadakan aturan pembagian laba dan pemilikan saham oleh buruh/karyawan ada 5 yaitu (Poole 1989: 70-71):

1. Komitmen moral (moral commitment);

2. Penahanan staf (staff retention);

3. Keterlibatan buruh/karyawan (employee involvement);

4. Perbaikan kinerja hubungan industrial (improved industrial relations performance);

5. Perlindungan dari pengambilalihan oleh perusahaan lain (protection against takeover).

Bisa dibuktikan bahwa ke-5 alasan yang disebut di sini diputuskan manajemen perusahaan karena memang benar-benar dialami banyak perusahaan lebih-lebih pada perusahaan keuangan yang bersaing dengan ketat satu sama lain, dan ada kebiasaan terjadinya “mobilitas” tinggi dari staf yang berkualitas. Tanpa kecuali hampir semua cara ditempuh perusahaan untuk meningkatkan kesadaran ikut memiliki perusahaan bagi buruh/ karyawan yang selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan semangat bekerja yang pada gilirannya berakibat meningkatkan keuntungan perusahaan. Dalam perusahaan yang berbentuk koperasi, sejak awal anggota koperasi adalah juga pemilik perusahaan yang disamping dapat memperoleh manfaat langsung dalam berbisnis dengan koperasi juga pada akhir tahun masih dapat menerima sisa hasil usaha (yang sering dikacaukan dengan keuntungan). Inilah “rahasia” berkoperasi yang biasanya tidak ditonjolkan pengurus karena praktek-praktek manajemen koperasi sering bertentangan dengan “teori koperasi” yang harus bersifat profit-sharing. Artinya perusahaan koperasi sering berubah menjadi “koperasi pengurus” bukan “koperasi anggota”. Profit-sharing dan sharing ownership sangat sejalan dengan aturan main Sistem Ekonomi Pancasila yang bertujuan menghindarkan ketimpangan ekonomi dan sosial dan berusaha mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.


Mengapa koperasi Indonesia sulit maju? Ilmu ekonomi ternyata tidak meningkatkan “kecintaan” para ekonom pada bangun perusahaan koperasi yang menonjolkan asas kekeluargaan, karena sejak awal model-modelnya adalah model persaingan sempurna, bukan kerjasama sempurna. Ajaran ilmu ekonomi Neoklasik adalah bahwa efisiensi yang tinggi hanya dapat dicapai melalui persaingan sempurna. Inilah awal “ideologi” ilmu ekonomi yang tidak mengajarkan sosiologi ekonomi ajaran Max Weber, sosiolog Jerman, bapak ilmu sosiologi ekonomi. Ajaran Max Weber ini sebenarnya sesuai dengan ajaran awal Adam Smith (Theory of Moral Sentiments, 1759) dan ajaran ekonomi kelembagaan dari John Commons di Universitas Wisconsin (1910).

Koperasi yang merupakan ajaran ekonomi kelembagaan ala John Commons mengutamakan keanggotaan yang tidak berdasarkan kekuatan modal tetapi berdasar pemilikan usaha betapapun kecilnya. Koperasi adalah perkumpulan orang atau badan hukum bukan perkumpulan modal. Koperasi hanya akan berhasil jika manajemennya bersifat terbuka/transparan dan benar-benar partisipatif.

Keprihatinan kita atas terjadinya kesenjangan sosial, dan ketidakadilan dalam segala bidang kehidupan bangsa, seharusnya merangsang para ilmuwan sosial lebih-lebih ekonom untuk mengadakan kajian mendalam menemukenali akar-akar penyebabnya. Khusus bagi para ekonom tantangan yang dihadapi amat jelas karena justru selama Orde Baru ekonom dianggap sudah sangat berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara meyakinkan sehingga menaikkan status Indonesia dari negara miskin menjadi negara berpendapatan menengah. Krisis multidimensi yang disulut krisis moneter dan krisis perbankan tahun 1997 tidak urung kini hanya disebut sebagai krisis ekonomi yang menandakan betapa bidang ekonomi dianggap “mencakupi” segala bidang sosial dan non-ekonomi lainnya.

Why economists disagree? Dan tidak why lawyer atau sociologists disagree? Inilah alasan lain mengapa ekonom Indonesia mempunyai tugas sangat berat sebagai penganalisis masalah-masalah sosial-ekonomi besar yang sedang dihadapi bangsanya. Perbedaan pendapat di antara ahli hukum atau ahli sosiologi dapat terjadi barangkali tanpa implikasi serius, sedangkan jika perbedaan itu terjadi di antara pakar-pakar ekonomi maka implikasinya sungguh dapat sangat serius bagi banyak orang, bahkan bagi perekonomian nasional.

MEMBANGKITKAN EKONOMI KERAKYATAN MELALUI GERAKAN KOPERASI: PERAN PERGURUAN TINGGI

I. Pendahuluan

Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai Perguruan Tinggi tertua sesudah kemerdekaan (lahir 19 Desembar 1949) adalah universitas Perjuangan yang berasas kerakyatan. Artinya misi utama perguruan tinggi di samping Tri Dharma (1) Pendidikan dan Pengajaran; (2) Penelitian; dan (3) Pengabdian pada Masyarakat, UGM juga merupakan lembaga (untuk membantu) perjuangan bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dengan asas kerakyatan (demokrasi ekonomi). Dalam pengertian kerakyatan/demokrasi ekonomi, produksi (dan distribusi) dikerjakan oleh semua warga masyarakat dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat. Kerakyatan adalah demokrasi sesuai budaya Indonesia dan sebagai sila ke-4 Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

Jika banyak orang berpendapat Ekonomi Kerakyatan merupakan konsep baru yang mulai populer bersama reformasi 1998-1999 sehingga masuk dalam “GBHN Reformasi”, hal itu bisa dimengerti karena memang kata ekonomi kerakyatan ini sangat jarang dijadikan wacana sebelumnya. Namun jika pendapat demikian diterima, bahwa ekonomi kerakyatan merupakan konsep baru yang “mereaksi” konsep ekonomi kapitalis liberal yang dijadikan pegangan era ekonomisme Orde Baru, yang kemudian terjadi adalah “reaksi kembali” khususnya dari pakar-pakar ekonomi arus utama yang menganggap “tak ada yang salah dengan sistem ekonomi Orde Baru”. Strategi dan kebijakan ekonomi Orde Baru mampu mengangkat perekonomian Indonesia dari peringkat negara miskin menjadi negara berpendapatan menengah melalui pertuumbuhan ekonomi tinggi (7% pertahun) selama 3 dasawarsa. “Yang salah adalah praktek pelaksanaannya bukan teorinya”.

Barangkali cara lain menerangkan “sejarah” konsep Ekonomi Kerakyatan adalah dengan langsung menunjukkan adanya kata kerakyatan dalam Pancasila (sila ke 4) yang harus ditonjolkan dan diwujudkan dalam strategi dan kebijakan ekonomi karena di antara 5 sila Pancasila, sila ke-4 inilah yang paling banyak dilanggar dalam praktek ekonomi selama era pembangunan ekonomi Orde Baru.

II . KOSUDGAMA Membangkitkan Ekonomi Kerakyatan

Koperasi Serba Usaha Dosen Gadjah Mada (Kosudgama) berdiri sebagai badan hukum tanggal 31 Maret 1982 dan berkantor di satu rumah dinas milik UGM di Bulaksumur A-14, yang sampai sekarang tetap menjadi kantor pusatnya, meskipun sudah berubah wajah menjadi pusat bisnis dengan toko swalayan, apotik, dan warung telepon untuk umum. Salah satu kemajuan Kosudgama yang patut disebut adalah bahwa keanggotaannya kini menarik orang-orang di luar UGM sendiri, yaitu pegawai UGM bukan dosen, dan dosen-dosen di luar UGM seperti UPN Veteran, UII, dan sebagainya.

Melonjaknya jumlah anggota luar biasa dari hanya 13% tahun 1998 menjadi 68% tahun 2001, atau naik 2200%, memang manakjubkan dan tentu bisa ditanyakan apa faktor penyebabnya. Sebabnya bukan karena mereka semata-mata tertarik SHU atau dividen yang baik karena SHU atau dividen mereka itulah yang justru berhasil mengembangkannya.

Faktor utama mengapa anggota berduyun-duyun masuk adalah karena mereka dengan menjadi anggota merasa kepentingannya terlayani dengan baik, lebih baik dibanding koperasi atau organisasi ekonomi lain selain Kosudgama. Kosudgama adalah organisasi ekonomi yang tepat sekali menggambarkan organisasi kerjasama (gotongroyong) untuk mengangkat derajat dan martabat anggota, dan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya melalui kerjasama yang tidak mengejar laba seperti halnya Perseroan Terbatas.

Hal lain yang menarik dari Kosudgama adalah kemajuan pesat usaha-usahanya yang terjadi justru setelah krismon 1997, ketika banyak perusahaan khususnya bank-bank swasta berguguran yang mengakibatkan PHK bagi banyak sarjana-sarjana pegawai bank. Kosudgama sebaliknya selama 1998-2001 mencatat peningkatan nilai pinjaman kepada anggota sebagai berikut:

Pelonjakan nilai pinjaman kepada anggota termasuk anggota luar biasa yang meningkat 7 kali (705%) selama 4 tahun adalah luar biasa, dan perkembangan ini ditambah usaha-usaha lain menghasilkan SHU yang juga melonjak dari hanya Rp 131 juta tahun 1998 menjadi Rp 3,04 milyar tahun 2001. Nilai aset total Kosudgama dengan demikian mengalami peningkatan dari Rp 1,97 milyar tahun 1998 menjadi Rp 22,03 milyar tahun 2001.

Pelajaran apa yang dapat ditarik dari pengalaman keberhasilan Kosudgama? Pertama, kesungguhan kerja pengurus dan staf serta kesetiaan mereka pada prinsip-prinsip berkoperasi, yaitu bekerjasama dengan ikhlas dan jujur demi kepentingan anggota. Prinsip kerja koperasi untuk melayani dan sekaligus memperjuangkan kepentingan ekonomi anggota adalah penting sekali, dan keberhasilannya merupakan ukuran utama misi organisasi. Kedua, Kosudgama adalah koperasi perkumpulan orang, bukan organisasi yang dibentuk terutama untuk menghimpun modal. Ketika Kosudgama berdiri tahun 1982 tujuan utama koperasi yang diperjuangkan pengurus adalah mengadakan rumah bagi dosen-dosen muda yang sangat membutuhkan, dan membeli buku-buku ajar (textbook) yang relatif mahal dari luar negeri. Jadi tidak seperti sebuah PT (Perseroan Terbatas) yang mengumpulkan modal saham dari anggota kemudian mencari usaha-usaha yang menguntungkan, koperasi mengenali kebutuhan urgen anggota yang kemudian dibantu untuk memenuhinya.

Prinsip kedua ini terus dipertahankan Kosudgama yaitu dengan tidak membuka usaha-usaha baru hanya karena usaha-usaha itu mendatangkan untung (misalnya berdagang VALAS yang bisa untung besar tetapi bisa pula buntung), tetapi setiap usaha yang dibuka harus merupakan kebutuhan anggota misalnya membangun rumah bagi anggota, membeli mobil atau sepeda motor secara kredit, membuka apotik bagi anggota dan umum, dan yang paling akhir membangun toko swalayan untuk anggota dan umum.
Demikian kiranya jelas bahwa Perguruan-perguruan Tinggi lain dapat dengan mudah “meniru” Kosudgama mendirikan koperasi di kampus masing-masing untuk membangkitkan (sistem) ekonomi kerakyatan. Syarat untuk berhasil tidak sulit dipenuhi jika koperasi benar-benar didasarkan pada kebutuhan yang mendesak dari masyarakat kampus, apakah ia dosen, mahasiswa, atau karyawan. Modal yang dibutuhkan untuk membiayai usaha memang tidak boleh sepenuhnya digantungkan atau berasal dari pihak luar koperasi, tetapi harus berasal dari anggota sendiri, meskipun bisa diangsur sedikit demi sedikit sesuai kemampuan anggota.

III . Koperasi Wadah Ekonomi Rakyat

Kiranya jelas dari uraian pengalaman KOSUDGAMA yang digambarkan di atas, bahwa yang dimaksud ekonomi rakyat yang dapat diperkuat dalam wadah koperasi adalah kegiatan produksi dan konsumsi yang apabila dikerjakan sendiri-sendiri tidak akan berhasil, tetapi melalui organisasi koperasi yang menerima tugas dari anggota untuk memperjuangkannya ternyata dapat berhasil. Ekonomi Rakyat adalah usaha ekonomi yang tegas-tegas tidak mengejar keuntungan tunai, tetapi dilaksanakan untuk (sekedar) memperoleh pendapatan bagi pemenuhan kebutuhan keluarga secara langsung untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, dan kebutuhan-kebutuhan keluarga lain dalam arti luas, yang semuanya mendesak dipenuhi dalam rangka pelaksanaan pekerjaan pokok anggota.

Ekonomi Rakyat dalam arti yang lebih luas mencakup kehidupan petani, nelayan, tukang becak dan pedagang kaki lima, yang kepentingan-kepentingan ekonominya selalu dapat lebih mudah dibantu/diperjuangkan melalui koperasi. Kepentingan-kepentingan ekonomi rakyat seperti inilah yang tidak dilihat oleh pakar-pakar ekonomi yang memperoleh pendidikan ekonomi melalui buku-buku teks dari Amerika dan yang tidak berusaha menerapkan ilmunya pada kondisi nyata di Indonesia. Teori-teori ekonomi mikro maupun makro dipelajari secara deduktif tanpa upaya menggali data-data empirik untuk mencocokkannya. Karena contoh-contoh hampir semuanya berasal dari Amerika dengan ukuran-ukuran relatif besar, maka mereka dengan mudah menyatakan ekonomi rakyat tidak ada dan tidak ditemukan di buku-buku teks Amerika. Misalnya Menteri Pertanian yang memperoleh gelar Doktor Ekonomi Pertanian dari Amerika Serikat dengan yakin menyatakan bahwa “Farming is business”, meskipun tanpa disadari yang dimaksud adalah”Farming (in America) is business”, sedangkan di Indonesia harus dicatat tidak semuaya dapat dikategorikan sebagai bisnis tetapi “way of life”, kegiatan hidup sehari-hari yang sama sekali bukan kegiatan bisnis yang mengejar untung.

Jika banyak orang Indonesia termasuk ilmuwan berpendapat bahwa ekonomi rakyat Indonesia “tidak ada”, atau tidak mempunyai sejarah, maka dasar pendapatnya jelas karena mereka (orang awam maupun ilmuwan) tidak membaca buku-buku sejarah ekonomi Indonesia. Maka kita patut berterimakasih pada Anne Booth penulis buku The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Century: A History of Missed Opportunity (Macmillan & St. Martin’s, 1998) dan Howard Dick dkk., The Emergence of A National Economy (Allen & Unwin & U-Hawaii, 2002). Kedua buku ditulis dalam rangka lebih memahami ekonomi Indonesia modern sejak Indonesia Merdeka 1945. Karena tidak ada buku-buku sejarah ekonomi Indonesia, pakar-pakar ilmu sosial Indonesia termasuk pakar ekonomi tidak mempunyai referensi dalam menerangkan fenomena-fenomena ekonomi dan sosial masa kini dan dengan demikian juga tidak dapat memperkirakan akar-akar sejarah permasalahan sosial ekonomi dewasa ini. Dalam kondisi demikian banyak diantara mereka menggunakan referensi sejarah ekonomi negara-negara lain yang dianggap relevan, padahal barangkali mereka sadar referensi tersebut banyak yang tidak relevan.

Dalam pada itu buku-buku tentang ekonomi atau perekonomian Indonesia yang ditulis oleh pakar-pakar ekonomi Belanda seperti Boeke dan Furnival tidak dibaca dengan alasan yang kurang jelas. Perdebatan seru tentang tesis dualisme ekonomi yang terbit sebagai buku Indonesian Economics (Van Hoeve, 1966), belum pernah secara lengkap diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk didiskusikan dalam kuliah-kuliah Ekonomi Indonesia. Mata kuliah Ekonomi Indonesia ini oleh konsorsium Ilmu Ekonomi di Direktoral Jenderal Pendidikan Tinggi telah diubah menjadi Perekonomian Indonesia, yang tentu saja sekedar membicarakan fenomena-fenomena dan bekerjanya perekonomian Indonesia Modern, terutama sejak tahun 1966 (Masa Orde Baru). Penulis buku ini yang mengampu kuliah ekonomi Indonesia selama 20 tahun terakhir, tetap menyebutnya sebagai Ekonomi Indonesia, dan mengisinya dengan sejarah perekonomian Indonesia (sejak masa penjajahan) dan sejarah pemikiran ekonomi Indonesia. Disamping itu dibahas pula sistem ekonomi Indonesia dengan memberikan perhatian dan penelusuran deskriptif dan analitis pada sejarah sistem ekonomi sejak sistem ekonomi monopolistik ala VOC (1600 – 1800), sistem ekonomi komando ala Tanam Paksa (1830 – 1870), dan sistem ekonomi kapitalis liberal sejak 1870. Salah satu buku penulis yang dipakai sebagai buku teks Ekonomi Indonesia berjudul Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia (LP3ES, 1988) dan Membangun Sistem Ekonomi (BPFE, 2000).

Buku Anne Booth, yang banyak mengacu pada buku-buku sejarah ekonomi penulis-penulis Belanda menggambarkan dengan baik sejarah ekonomi rakyat Indonesia khususnya pada bab 7, Market and Entrepreneurs. Perkembangan sistem pasar di Indonesia tidak pernah mulus karena selalu tertekan oleh “sistem ekonomi” yang diterapkan di Indonesia sebagai “negara jajahan”. Pada 200 tahun pertama masa kolonialisme (1600 – 1800), persatuan Pedagang Belanda (VOC) menerapkan sistem monopoli (monopsoni) dalam membeli komoditi-komoditi perdagangan seperti rempah-rempah (lada dan pala, cengkeh, kopi dan gula), sehingga harganya tertekan karena ditetapkan sepihak oleh VOC.

Meskipun VOC tidak sama dengan pemerintah penjajah Belanda, tetapi petani Indonesia merasa VOC mempunyai kekuasaan dan daya-paksa seperti pemerintah juga karena VOC mempunyai aparat “pemerintahan”, bahkan memiliki tentara. Itulah sebabnya Companie diucapkan orang Indonesia sebagai kumpeni yang tidak lain berarti “tentara” yang dapat memaksa-maksa petani menyerahkan komoditi perdagangannya yang “dipaksa beli” oleh VOC. Selanjutnya setelah VOC bubar (bangkrut tahun 1799), pemerintah penjajah Belanda tidak segera menemukan cara-cara tepat untuk mengekploitasi Indonesia, bahkan pemerintah ini terhenti sementara (1811-1816) karena penguasaan atas Indonesia diambil alih oleh Inggris pada saat Belanda di duduki Jerman, dan pemerintah Belanda mengungsi ke Inggris. Letnan Gubernur Thomas Robert Raffles memperkenalkan sistem sewa tanah untuk mengefisienkan tanah jajahan. Sistem sewa tanah ini tidak segera diambil alih pemerintah penjajah Belanda setelah Indonesia (Hindia Belanda ) diserahkan kembali kepada Belanda.

Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro 1825-1830), dan Perang Paderi di Sumatera Barat (1821-1837), Gubernur Jendral Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan yang besar. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya pada harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Maka tidak ada perkembangan yang bebas dari sistem pasar.

Selain itu kehidupan rakyat kecil (ekonomi rakyat) makin berat karena penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak. Produksi pangan rakyat merosot dan timbul kelaparan di berbagai tempat di Jawa. Tanam Paksa adalah sistem ekonomi yang merupakan noda hitam bagi sejarah penjajahan Belanda di Indonesia, meskipun bagi pemerintah Belanda dianggap berhasil karena memberikan sumbangan besar bagi kas pemerintah. Selama sistem tanam paksa kas pemerintah jajahan Belanda mengalami surplus (batig slot). Sistem tanam paksa yang kejam ini setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi diluar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Akhirnya sistem ekonomi ke-3 dan terakhir pada jaman penjajahan yang berlangsung sampai Indonesia merdeka adalah sistem ekonomi kapitalis liberal, yang pelaku penentu utamanya bukan lagi pemerintah tetapi pengusaha swasta, sedangkan pemerintah sekedar sebagai penjaga dan pengawas melalui peraturan-peraturan per-undang-undangan. Undang-undang pertama yang menandai sistem baru ini adalah UU Agraria tahun 1870, yang memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas untuk jangka waktu sampai 75-99 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit, atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tembakau dalam bentuk sewa jangka pendek. Pada saat tanaman-tanaman perdagangan ini mulai dikembangkan, di beberapa daerah rakyat sudah lebih dulu menanaminya, sehingga terjadi persaingan antara perkebunan-perkebunan besar dengan perkebunan-perkebunan rakyat. Dalam persaingan antara dua sub-sistem perkebunan inilah mulai muncul masalah peranan yang tepat dan adil dari pemerintah. Di satu pihak pemerintah ingin agar perusahaan-perusahaan swasta memperoleh untung besar sehingga pemerintah mendapat bagian keuntungan berupa pajak-pajak perseroan atau pajak pendapatan dari staf dan karyawan. Tetapi di pihak lain penduduk pribumi yaitu pekebun-pekebun kecil (perkebunan rakyat) yang sebelumnya sudah mengembangkan tanaman-tanaman ini “tidak boleh dirugikan” terutama dalam pemasaran hasilnya. Terutama dalam produksi dan pemasaran karet persaingan segera timbul, dan pemerintah yang tentunya berkepentingan meningkatkan kemakmuran rakyat tidak boleh membiarkan merosotnya kemakmuran rakyat ini, sehingga harus terus menerus mengawasi hubungan antara keduanya. Misalnya pada saat harga karet jatuh pada awal tahun 1920-an ada usulan pembatasan produksi karet (Stevensen Restriction Scheme) dari pemerintah penjajahan Inggris di Malaya yang tidak disambut baik oleh pemerintah Hindia Belanda.

Perkebunan karet rakyat memiliki daya tahan jauh lebih kuat menghadapi krisis ketimbang perusahaan-perusahaan perkebunan swasta besar.
Tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan terutama Mohammad Hatta, yang belajar ilmu Ekonomi di Rotterdam, banyak menyoroti nasib buruk ekonomi rakyat yang selalu tertekan oleh pelaku sektor ekonomi modern yang dikuasai investor-investor Belanda, terutama dalam pertanian dan perkebunan, dan dikenal sebagai pertanian rakyat dan perkebunan rakyat (smallholder). Pertanian dan perkebunan rakyat dengan pemilikan lahan yang sempit, dengan teknologi sederhana dan modal seadanya, sulit berkembang karena merupakan usaha-usaha subsisten. Sebaliknya pertanian dan terutama perkebunan besar yang luasnya puluhan atau ratusan ribu hektar yang menggunakan teknologi unggul dan modal besar dalam memproduksi komoditi ekspor (karet, teh, kelapa sawit, tebu dan tembakau), tidak tertarik bekerjasama dengan usaha-usaha ekonomi rakyat.

Mereka, perkebunan besar, bahkan khawatir rakyat “menyaingi” hasil-hasil perkebuan besar karena hasil-hasil perkebunan rakyat dapat jauh lebih murah meskipun mungkin mutunya tidak tinggi. Demikian karena ekonomi rakyat merupakan kegiatan penduduk pribumi dan usaha-usaha besar merupakan milik pengusaha-pengusaha Belanda atau pengusaha asing lain dari Eropa, maka para pemimpin pergerakan seperti Hatta, Syahrir, dan Soekarno, selalu memihak pada ekonomi rakyat dan berusaha membantu dan memikirkan upaya-upaya untuk memajukannya. Maka Hatta berkali-kali menulis di Daulat Rakyat tentang bahaya-bahaya yang mengancam ekonomi rakyat dan bagaimana ekonomi rakyat harus bersatu atau mempersatukan diri dalam organisasi koperasi sebagai bangun usaha yang sesuai dengan asas kekeluargaaan. Hanya dalam asas kekeluargaan dapat diwujudkan prinsip demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua, dan untuk semua, sedangkan pengelolaannya dipimpin dan diawasi anggota-anggota masyarakat sendiri. Inilah yang kemudian dijadikan pedoman umum penyusunan sistem ekonomi Indonesia sebagai usaha bersama yang berasaskan kekeluargan sebagaimana tercantum sebagai pasal 33 UUD 1945.

Ekonomi rakyat sebagai mata pencaharian sebagian besar rakyat (rakyat banyak) memiliki daya tahan tinggi terhadap ancaman dan goncangan-goncangan harga internasional. Pada saat terjadi depresi pada tahun 20-an dan 30-an ketika perkebunan-perkebunan besar Belanda merugi karena anjlognya harga ekspor, justru perkebunan rakyat menikmatinya.

The 1920s were the “golden age” (hujan emas or “golden rain”) for smallholder rubber, long remembered among rural residents in Palembang, Jambi, and West and South Kalimantan. Consumption of both local and imported goods quickly increased. The number of motor cars in Palembang rose from 300 in 1922 to 1300 in 1924 and more than 19000 bicycles and 17000 sewing-machines were imported into Palembang and Jambi in 1920s ….. Much romantic nostalgia surrounded the hujan emas in the rubber regions in the Outer islands (Howard Dick et. al, 2002:138).

Pada zaman pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan, ekonomi rakyat makin berkembang dengan pemasaran dalam negeri yang makin luas ditambah pasar luar negeri yang ditinggalkan perkebunan-perkebunan besar yang mulai mundur. Dan dalam hal komoditi tebu di Jawa tanaman tebu rakyat mulai berperanan besar menyumbang pada produksi gula merah (gula mangkok) baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Pada tahun 1975 pemerintah yang mulai pusing mengelola industri gula di Jawa membuat putusan mengagetkan dengan Inpres No. 9/1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang melarang pabrik-pabrik gula (pemerintah maupun swasta ) menyewa lahan milik petani. Semua tanah sawah dan tanah kering harus ditanami tebu rakyat karena tanaman rakyat dianggap lebih unggul khususnya secara ekonomis dibanding tanaman perkebunan besar/pabrik, dan yang paling penting pemerintah ingin menghilangkan konflik-konflik yang selalu terjadi antara pabrik-pabrik gula dan rakyat pemilik tanah.

Kebijaksanaan TRI ini gagal total karena mengabaikan kenyataan pemilikan tanah rakyat yang sudah sangat sempit, yang mempunyai pilihan (alternatif) untuk ditanami padi. Karena tebu sebagai bahan baku untuk gula harganya ditetapkan pemerintah, sedangkan untuk padi tidak, maka di mana pun petani memilih menanam padi. Akibatnya tujuan untuk menaikkan produksi dan produktivitas tebu tidak tercapai (produksi gula merosot), dan Inpres TRI ini dicabut pada tahun 1998 setelah sangat terlambat, dan membuat kerusakan besar pada industri gula di Jawa. Dewasa ini industri gula di Jawa termasuk salah satu industri yang paling sakit di Indonesia.

Demikian sejarah ekonomi rakyat berawal jauh sebelum Indonesia merdeka, namun tidak banyak pakar mengenalnya karena para pakar, khususnya pakar-pakar ekonomi, memang hanya menerapkan ilmunya pada sektor ekonomi modern terutama sektor industri dengan hubungan antara faktor-faktor produksi tanah, tenaga kerja, dan modal serta teknologi yang jelas dapat diukur. Karena dalam ekonomi rakyat pemisahan atau pemilahan faktor-faktor produksi ini tidak dapat dilakukan maka pakar-pakar ekonomi “tidak berdaya” melakukan analisis-analisis ekonomi.

IV . Peranan Ilmu Ekonomi

Ilmu Ekonomi yang diajarkan dan diterapkan di seluruh dunia sejak Perang Dunia II yang dirintis awal oleh buku Economics An Introductory Analysis (Paul Samuelson dari MIT, 1946, sekarang tahun 2001 edisi ke-17) dikenal sebagai teori ekonomi Neoklasik. Isi ajaran ekonomi Neoklasik merupakan sintesa teori ekonomi pasar persaingan bebas Klasik (Homo ekonomikus dan invisible hand Adam Smith), dan ajaran marginal utility dan keseimbangan umum Neoklasik. Tekanan ajaran ekonomi Neoklasik adalah bahwa mekanisme pasar persaingan bebas, dengan asumsi-asumsi tertentu, selalu menuju keseimbangan dan efisiensi optimal yang baik bagi semua orang. Artinya jika pasar dibiarkan bebas, tidak diganggu oleh aturan-aturan pemerintah yang bertujuan baik sekalipun, masyarakat secara keseluruhan akan mencapai kesejahteraan bersama yang optimal (Pareto Optimal)

Di Indonesia, sampai dengan krismon tahun 1997, ilmu ekonomi yang dipahami seperti digambarkan di atas menduduki tempat terhormat di kalangan ilmu-ilmu sosial. Misalnya insinyur yang belajar dan mengambil derajat tambahan ilmu ekonomi, dan kemudian bergelar Dr. Ir, diakui memiliki kemampuan “luar biasa” atau keahlian ekstra karena disamping teknolog juga masuk “kelompok elit teknokrat ekonomi”.

Satu alasan kuat lain dari tingginya prestise ilmu ekonomi adalah keberhasilan para Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia, dan teknokrat ekonomi lain, dalam membangun ekonomi Indonesia selama Orde Baru (1966-1997). Dalam setiap kabinet, tokoh-tokoh ekonomi terutama dari FE-UI menduduki pos-pos utama ekonomi seperti Menteri Keuangan, Perdagangan, dan Industri. Dan BAPPENAS yang ditugasi merancang dan mengendalikan pembangunan nasional selalu diketuai pakar ekonomi, kecuali sejak tahun 1993 yang pimpinannya dipercayakan pada 2 Insinyur. Bagi sementara orang, krismon tahun 1997 yang tidak diduga datangnya justru disebabkan antara lain karena kepemimpinan tim ekonomi pemerintah tidak lagi dipegang ekonom “profesional”.

Pemikiran yang ingin kami kembangkan adalah bahwa krismon 1997 dan ketimpangan ekonomi dan sosial yang serius sejak pertengahan tahun delapan puluhan, terutama disebabkan oleh strategi pembangunan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, dan kurang memperhatikan asas pemerataan dan keadilan. Dan strategi yang “keliru” ini diterapkan karena ekonom (teknokrat ekonomi) memperoleh kepercayaan berlebihan dalam penyusunan strategi pembangunan. Terhadap kesimpulan terakhir para teknokrat banyak yang keberatan karena menurut mereka ajaran dan nasihat-nasihat yang mereka berikan tidak pernah salah. Yang salah adalah pelaksanannya, bukan teorinya, lebih-lebih jika diingat bahwa krismon terjadi setelah tim ekonomi pemerintah semakin dikuasai oleh non-ekonom, khususnya di BAPPENAS.

Menggugat Ajaran Ekonomi Neoklasik
Mempertanyakan kembali ajaran ilmu ekonomi Neoklasik tidaklah unik di Indonesia. Gunnar Myrdal (1967) menyatakan sejak amat awal bahwa teori ekonomi tidak dikembangkan untuk menganalisis masalah-masalah ekonomi negara-negara terbelakang (under developed regions). Bagi negara-negara yang disebut terakhir, belakangan disebut negara-negara selatan, harus dikembangkan teori lain oleh para ekonom muda dari negara-negara sedang berkembang sendiri. J.H.Boeke, ekonom Belanda, menyatakan hal yang sama jauh sebelumnya dalam disertasinya tahun 1910, dan diperkuatnya dalam pidato pengukuhan Guru Besar Ekonomi kolonial tropik tahun 1930 di Universitas Leiden. Pada tahun 1979 dalam pidato pengukuhan Guru Besar di Universitas Gadjah Mada, kami secara eksplisit menyatakan bahwa teori ekonomi Neoklasik bermanfaat untuk menumbuhkan perekonomian tetapi tidak menolong untuk mengadakan pemerataan dan mewujudkan keadilan. Selanjutnya mengikuti ajaran Joan Robinson (1962), yang menekankan bahwa ilmu ekonomi membahas sistem ekonomi, bukan tentang ahli-ahli ekonomi, maka dalam buku Membangunan Sistem Ekonomi (BPFE, 2000), kami lebih spesifik lagi menunjukkkan bahwa ideologi Pancasila yang telah diterima sebagai ideologi bangsa Indonesia harus, mau tidak mau, dijadikan landasan sistem ekonomi nasional. Maka sistem ekonomi Indonesia adalah, tidak lain, Sistem Ekonomi Pancasila.

Meskipun secara politis Pancasila, dan kerakyatan sebagai sila ke-4, sudah diterima dan dapat dijadikan acuan sistem ekonomi nasional, tokh dalam kenyataan, para pakar, khususnya pakar ekonomi, merasa sulit atau enggan memasukkannya dalam “model” pembangunan ekonomi. Lebih-lebih dengan munculnya kembali ajaran liberalisasi dan globalisasi pertengahan tahun delapan puluhan, yang dijiwai atau diilhami semangat neoliberalisme, keunikan ideologi Pancasila makin dipertanyakan, dan dianggap tidak akan mampu menghadapi ideologi global neoliberalisme. “Daripada susah-susah akan lebih baik kita mengikuti ideologi global Kapitalisme-Neoliberalisme, yang sejak 1989-1990 memang telah mengalahkan paham saingannya yaitu Sosialisme.” Demikian sikap menyerah kalah ini banyak menghinggapi tokoh-tokoh ekonom kita, yang pada awal Orde Baru (1996) pernah sangat percaya perlunya Indonesia membangun masyarakat sosialisme Pancasila atau Sosialisme berdasarkan Pancasila (TAP No. XXIII/MPRS/1966).

Dewasa ini makin banyak ditemukan buku yang menentang arus globalisasi yang menggunakan teori ekonomi neoklasik dan diperkuat paham Neo-liberalisme. Perlawanan dan bahkan pemberontakan terhadap dominasi ajaran/resep-resep IMF dan Bank Dunia dipimpin ekonom-ekonom yang pernah bekerja di IMF atau Bank Dunia sendiri, yang paling terkenal adalah Joseph Stiglitz (Ha-Joon Chang, 2001).
The straight forward view of development as an upward climb, common to all nations but with different countries at different stages, is misleading and certainly inadequate for the twenty-first century. (Jonathan M. Harris et al, A Survey of Sustainable Development, Island Press, 2001) .

Demikian kini tidak hanya praktek pembangunan yang dipertanyakan, tetapi teori yang melandasi praktek-praktek pembangunan itu sendiri mulai digugat. Jika tahun 1995 sudah terbit buku Paul Ormerod berjudul The Death of Economics, kini terbit lagi buku Debunking Economics: The Naked Emperor of the Social Sciences oleh Steve Keen (Pluto Press, Australia, 2001). Buku ini menolak total ajaran ekonomi Neoklasik, yang disamping benar-benar tak berguna juga pengajarannya seperti “indoktrinasi”.

Dalam buku lain, Economics as Religion (Pennsylvania State UP, 2001), Robert Nelson juga menolak ajaran Neoklasik yang sudah menjadi semacam agama.
Beneath the surface of their economic theorizing, economist are engaged in an act of delivering religious messages. Correctly understood these messages are seem to be promises of the true path to a salvation in world to a new heaven on earth. (RH. Nelson, 2001, h. 20).

Alasan kuat penerimaan dan penerapan teori ekonomi neoklasik adalah bahwa ia merupakan satu-satunya teori yang tersedia sehingga “tidak ada alternatif”. Untuk menjawab keberatan demikian, Debunking Economics secara khusus menutup bukunya dengan alternatif-alternatif berikut: (Keen, 2001, h.300).

1. Austrian Economics, yang menerima banyak ajaran ekonomi Neoklasik kecuali konsep keseimbangan.
2. Post Keynesian Economics, yang sangat kritis terhadap ajaran Neoklasik dan menekankan pada pentingnya ketidakpastian.
3. Sraffian Economics, mendasarkan pada konsep produksi komoditi oleh komoditi.
4. Complexity Theory, yang menerapkan konsep dinamika non linear dan teori kekacauan terhadap isu-isu ekonomi.
5. Evolutionary Economics, yang memperlakukan perekonomian sebagai sistem evolusi ala Darwin.

Dari ke-5 “alternatif” terhadap teori ekonomi Neoklasik tersebut, teori ekonomi evolusioner mencakup apa yang dikenal dengan teori ekonomi kelembagaan yang mula-mula diusulkan Thorstein Veblen (1898), dan kemudian dikembangkan oleh John R. Commons (1904-1905) di Wisconsin. Ekonomi kelembagaan ala John Commons menunjukkan betapa teori ekonomi bisa sangat relevan untuk memecahkan masalah-masalah sosial yang secara nyata dihadapi masyarakat pada waktu dan tempat tertentu, dan sebaliknya bisa terasa begitu aneh dan mandul pada waktu dan tempat lain sebagaimana dirasakan 4-5 tahun terakhir di Indonsia.

Menjelang krismon di Indonesia bulan Juli 1997, 4 tahun setelah Indonesia dipuja-puji sebagai salah satu “Keajaiban Asia”, karena pertumbuhan ekonomi yang cepat dengan pembagian pendapatan “sangat merata”, pakar-pakar ekonomi Indonesia maupun pakar-pakar ekonomi asing di Indonesia “sesumbar” bahwa tidak mungkin ekonomi Indonesia mengalami krisis keuangan. “Indonesia bukan Thailand”, dan tahun 2001 dikatakan “ Indonesia bukan Argentina”. Jika keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia sering dikatakan karena para teknokrat (ekonom) telah secara cerdas menerapkan terori ekonomi Neoklasik, maka krismon tentunya tidak mungkin melanda Indonesia yang memiliki fundamental ekonomi kuat seperti inflasi rendah, cadangan devisa kuat, dan pertumbuhan ekonomi tinggi. Sesungguhnya kasus Indonesia menunjukkan kelemahan teori ekonomi neoklasik yang tidak mampu memberikan peringatan dini akan ancaman bahaya krismon padahal sejumlah ilmuwan sosial lain khususnya sosiolog dan anthropolog sudah berulang kali mengingatkannya. Kami sendiri pada tahun 1981 menulis artikel “keras” yang mengingatkan bahaya “penyakit kanker” yang sudah menyerang ekonomi Indonesia, tetapi dianggap para ekonom Neoklasik sebagai dagelan yang tidak lucu atau teori ekonomi yang “ngawur”. Demikian pada editorial majalah “Business News” (4 Agustus 1984) pandangan kami tentang “Ekonomi Pancasila” diputar balik dan dianggap “menolak pertumbuhan”, sehingga “tidak laku di Jakarta”.

V . Pengajaran Ilmu Ekonomi

Satu kesalahan besar yang berubah menjadi semacam dosa dari dosen-dosen pengajar ekonomi di Universitas-universitas di Indonesia adalah bahwa mereka hanya mengajarkan separo saja dari ajaran ekonom klasik Adam Smith. Konsep Smith tentang Manusia Sosial (homosocialis, tahun 1759) dilupakan atau tidak diajarkan, sedangkan ajaran berikutnya pada tahun 1776 (manusia sebagai homoeconomicus) dipuja-puji secara membabi buta. Menurut konsep terakhir manusia bersifat egois dan selfish, yang tidak pernah mau tahu kepentingan orang lain meskipun yang benar adalah sebaliknya :

Man it has been said, has a natural love for society, and desires that the union of mankind should be preserved for its own sake, and though the himself was to derive no benefit form it. (Adam Smith, 1759 h. 9).

Dosa ke-2 dari dosen-dosen ilmu ekonomi adalah mengajarkan secara penuh metode analisis deduktif dari teori ekonomi neoklasik, padahal seharusnya disadari bahwa Alfred Marshall dan Gustave Schmoller sebelumnya, yang merupakan tokoh-tokoh teori ekonomi Neoklasik, memesankan secara sungguh-sungguh dipakainya dua metode secara serentak (deduktif dan induktif), laksana 2 kaki (kanan dan kiri) untuk berjalan.

Ajaran asli Mazhab sejarah Jerman inilah yang sesungguhnya dan seharusnya mengingatkan peristiwa pergulatan metode (metodensreit) pakar-pakar ekonomi tahun 1873-1874 dalam penggunaan model-model matematika yang kebablasan dan sekaligus mengabaikan data-data sejarah yang relevan. Mengajarkan ilmu ekonomi matematika (matematika ekonomi) dianggap lebih gagah dibandingkan keharusan membaca data-data sejarah dalam buku-buku tebal, meskipun jelas mempelajari sejarah lebih relevan.

Selain itu mengajar ekonomika secara induktif-empirik memang membutuhkan waktu dan tenaga lebih banyak, dan jika waktu sangat mendesak atau terbatas, maka mengajar dengan metode deduktif memang merupakan pilihan yang mudah.

Kita tentu berterima kasih dan bersyukur ada ilmu sosial yang bernama ilmu ekonomi yang telah berjasa membantu manusia menyusun resep-resep dan model-model yang semakin canggih untuk membangun perekonomian modern, dengan akibat standar kehidupan manusia juga semakin tinggi. Ekonomi Indonesia yang pada tahun-tahun awal kemerdekaan selama dua dasawarsa (1945-1966) merupakan perekonomian agraris yang terbelakang, kini sudah jauh lebih maju dan modern dengan standar hidup manusia rata-rata hampir 10 kali lipat. Pertanyaannya, apakah kemajuan tersebut merupakan jasa Ilmu Ekonomi? Mungkin lebih tepat pertanyaannya diubah menjadi sejauh mana ilmu ekonomi telah menyumbang pada kemajuan tersebut. Jika jawaban atas pertanyaan ini negatif, artinya sumbangan ilmu ekonomi hanya kecil saja dibanding ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu-ilmu teknik, pertanian, atau kesehatan, maka tidak ada masalah. Masalah akan timbul jika ilmu ekonomi dikatakan berperan sangat besar dan menentukan dalam pembangunan nasional terutama sejak Orde Baru, dengan keterangan lebih lanjut bahwa para teknokrat ekonomilah yang telah berjasa besar, karena mereka menduduki posisi-posisi kunci dalam pemerintahan dan lembaga perencanaan ekonomi serta menjadi penetu-penentu kebijaksanaan pembangunan.

Memang tidak mungkin kita berteori seandainya pada awal Orde Baru bukan ekonom, tetapi sosiolog atau anthropolog yang lebih berperanan, apakah hasilnya akan berbeda, lebih baik atau lebih buruk. Namun jika era Orde Baru kini dianggap telah berakhir dan kini kita mengadakan reformasi dalam segala bidang termasuk reformasi ekonomi, tidak sahkah jika kita juga menggugat yang salah dalam pembangunan ekonomi, dan peranan ilmu ekonomi di dalamnya? Lebih jauh kiranya kita berhak mempertanyakan jangan-jangan jika ilmu ekonomi jenis lain yang kita terapkan dan kita ajarkan di Indonesia sejak lahirnya fakultas-fakultas ekonomi, kondisi masyarakat (ekonomi) kita lebih baik dari sekarang. Ilmu ekonomi lain sudah ada dan berkembang di dunia termasuk di Amerika Serikat, hanya saja karena ilmu ekonomi Neoklasik memang memegang monopoli untuk diajarkan di AS dan negara Eropa Barat lain, maka ilmu ekonomi itulah yang juga diajarkan dan diterapkan di Indonesia dan negara-negara berkembang lain.

Salah satu kelemahan amat menonjol dari Ilmu Ekonomi Neoklasik adalah keengganannya untuk memasukkan faktor budaya dan masalah keadilan dalam model analisisnya. Bagi Indonesia yang berideologi Pancasila yang bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, maka pembangunan ekonomi dan ilmu ekonomi yang melandasi penyusunan kebijakan-kebijakan harus mempertimbangkan faktor keadilan ekonomi dan keadilan sosial. Dan ilmu ekonomi yang diajarkan di Fakultas-fakultas Ekonomi haruslah ilmu ekonomi kelembagaan ajaran John R. Commons yang dikembangkan di University of Wisconsin Madison tahun 1904-05.

VI . KESIMPULAN

Satu tahun menjelang pensiun, setelah 40 tahun mengajar, kami merasa bahwa sarjana-sarjana ekonomi yang kami didik dan kami hasilkan tidak terlalu berbeda dengan sarjana-sarjana ilmu sosial lain dalam keahlian dan ketrampilan memecahkan masalah-masalah sosial masyarakat. Di daerah-daerah, para sarjana ekonomi seringkali tidak menunjukkan kelebihan penguasaan cara-cara berpikir ekonomi dalam menyusun rencana-rencana pembangunan bagi pemerintah daerah dan masayarakat di daerah. Jika berada di Bappeda, yang banyak diantaranya tidak dipimpin sarjana ekonomi, mereka, sarjana ekonomi, sering tidak menonjol berpikir tentang ekonomi. Tidak jarang sarjana-sarjana sosial non-ekonomi lebih cerdas berpikir ekonomi dan mampu mengusulkan rencana-rencana pembangunan yang rasional ketimbang sarjana ekonomi.

Kesimpulan kita adalah bahwa pengajaran ilmu ekonomi di Fakultas-fakultas Ekonomi kita kurang tajam (vigorous), kurang relevan, atau keliru. Lebih merisaukan lagi jika kemudian timbul kesan bahwa ilmu ekonomi mengajarkan bagaimana orang mencari uang, atau mengejar untung, dengan tidak mempertimbangkan akibat tindakan seseorang bagi orang lain. Ilmu ekonomi yang mengajarkan bahwa manusia adalah homo-economicus cenderung mengajarkan sikap egoisme, mementingkan diri sendiri, cuek dengan kepentingan orang lain, bahkan mengajarkan keserakahan. Karena ilmu ekonomi mengajarkan keserakahan maka tidak mengherankan bahwa dalam kaitan konflik kepentingan ekonomi antara perusahaan-perusahaan konglomerat dan ekonomi rakyat, para sarjana ekonomi cenderung atau terang-terangan memihak konglomerat. Dan lebih gawat lagi mereka yang memihak ekonomi rakyat atau melawan konglomerat, dianggap bukan ekonom. Misalnya dalam masalah kenaikan upah minimum propinsi (UMP) tidak diragukan bahwa jika tidak mau di sebut “bukan ekonom” anda harus berpihak pada majikan /pengusaha karena pemaksaan kenaikan UMP “pasti berakibat pada meluasnya penggangguran”.

Sekiranya sebagian dosen Fakultas Ekonomi tidak sependapat dengan pandangan atau keprihatinan kami, dan tetap bersikukuh bahwa sarjana-sarjana ekonomi didikan kita sudah memenuhi “standar internasional”, yaitu penguasaan teori-teori ekonomi secara memadai, maka keprihatinan kami bergeser pada pertanyaan mengapa kita tidak berusaha keras menghasilkan sarjana ekonomi Indonesia yang benar-benar mampu memecahkan masalah-masalah ekonomi kongkrit yang dihadapi bangsa Indonesia. Mengapa dalam upaya pemulihan ekonomi kita tim ekonomi pemerintah atau para ekonom di EKUIN atau BAPPENAS dikabarkan selalu menyatakan “tidak ada jalan lain” kecuali dengan cara berhutang lagi, atau merangsang investor-investor asing baru?
Dalam menghadapi globalisasi dan “keharusan” mengadakan privatisasi BUMN, juga makin mencolok dan makin tajam perbedaan pandangan sarjana-sarjana ekonomi Indonesia. Mayoritas sarjana-sarjana ekonomi Indonesia menganggap bahwa globalisasi tidak terelakkan dan akan “counter productive” jika kita mati-matian melawannya. Benarkah demikian? Mengapa kini banyak buku-buku “anti globalisasi” diterbitkan, dan sejumlah tokoh ekonomi (Pemenang Nobel 2001) Joseph Stiglitz “memberontak” terhadap cara-cara IMF dan Bank Dunia membantu negara-negara miskin.

Mungkin masih tetap banyak yang tidak sependapat dengan kami bahwa dosen-dosen ekonomi di Universitas telah “berdosa” mengajarkan ilmu ekonomi secara keliru atau bahkan mengajarkan “ilmu ekonomi yang keliru”. Jika demikian, mereka tetap merasa tak bersalah, kami ingin menghimbau sarjana ekonomi lain yang jumlahnya sedikit, yang setuju dengan pandangan kami, untuk bekerja keras mengajak rekan-rekan lainnya yang belum masuk barisan untuk memperkuat barisan. Marilah kita membuat gerakan “mengkaji ulang” relevansi teori-teori ekonomi yang sudah mapan dari Amerika ini. Ilmu ekonomi sebagai ilmu sosial harus kita “Indonesiakan” menjadi ilmu ekonomi yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia yang sedang membangun, khususnya dalam memberdayakan ekonomi rakyat. Dan caranya, seperti sudah disinggung di atas, ilmu ekonomi di Perguruan Tinggi harus diajarkan bersama sejarah ekonomi bangsa, ilmu sosiologi, antropologi, dan etika Pancasila.

KOPERASI SEBAGAI STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI PANCASILA

1. Wacana perjuangan

Perjuangan bangsa Indonesia bersama segenap komponen dan eksponen kekuatan nasional seluruh negeri tahap pertama melawan penjajah, yaitu “Mencapai Indonesia Merdeka” telah berhasil dengan gemilang yang ditandai dengan Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Bahkan telah dilengkapi pula dengan dasar negara ideologi luhur Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945 sebagai platform pijakan perjuangan tahap kedua menuju cita-cita bangsa.

Bagi bangsa Indonesia proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah merupakan “berkat rakhmat Allah” (Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga) yang melekat menyertai perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia (Pembukaan UUD 1945 alinea kedua), sedang dalam batang tubuhnya ditegaskan “Negara berdasarkan atas Ke Tuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 29 UUD 1945), yang artinya tatanan dan pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan atas hukum dan nilai-nilai Ke Tuhanan Yang Maha Esa.

Dengan demikian maka Proklamasi juga merupakan tekad dan janji bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk melaksanakan janjinya itu secara konsisten, murni dan konsekwen bersama segenap rakyat Indonesia di lingkungan dunia internasional dalam tingkat, harkat, martabat dan derajat yang sama dengan bangsa-bangsa lain.

Perjuangan bangsa tahap kedua telah berjalan selama hampir 58 tahun, namun hasilnya masih sangat mengecewakan bahkan terlihat semakin jauh dari gambaran cita-cita bangsa Indonesia (alinea 4 Pembukaan UUD 1945), yang terdiri atas 3 (tiga) pilar, yaitu :

a. Mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan pemerintahan yang bersih, berwibawa, stabil dan kuat agar mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,

b. Memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur,

c. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Oleh karenanya diperlukan langkah pencermatan terhadap pengalaman masa lalu untuk introspeksi dan evaluasi berdasarkan platform tersebut diatas guna menemukan penyebab yang dianggap paling mendasar dari kegagalan perjuangan tahap kedua, kemudian secara induktif dan deduktif dicari berbagai alternatif pemecahannya sebagai upaya antisipatif dari segala penyebab kegagalan tersebut.

Selanjutnya berpijak pada platform tersebut disusunlah rencana baru perjuangan yang lebih realistis dan lebih terukur dalam ruang dan waktu yang tersedia secara kontekstual sesuai dengan hasil analisa situasi dan kondisi obyektif yang nyata serta menyusun strategi dan taktik perjuangan yang lebih relevan untuk tidak mengulangi kegagalan lagi.

2. Pengalaman Sejarah sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 :

Mempelajari perjalanan sejarah kehidupan bangsa Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan NKRI 17 Agustus 1945 hingga sekarang (1945 – 2003) tersimpul bahwa sebenarnya Pancasila dan UUD 1945 belum pernah dilaksanakan secara murni dan konsekuen sesuai maksud dan tujuan semula.

Tanggal 18 Agustus 1945 Undang-Undang Dasar NKRI disahkan dan berlaku bagi seluruh tanah air Indonesia, kemudian disusul pembentukan suatu Kabinet Presidensiil sesuai ketentuan UUD 1945 yang sudah disahkan itu. Tetapi pada tanggal 14 Nopember 1945 BP-KNIP (yang melakukan fungsi MPR sebelum MPR terbentuk) mengusulkan kepada Presiden agar Kabinet Presidensiil diganti dengan Kabinet Parlementer yang dipimpin seorang Perdana Menteri dan bertanggung jawab kepada DPR. Maka Kabinet Presidensiil tadi dibubarkan dan diganti Kabinet Parlementer (dengan Perdana Menteri Syahrir I), yang tidak sesuai dengan UUD 1945. Jadi UUD 1945 hanya berlaku selama 3 (tiga) bulan kurang 3 hari.

Bentuk Kabinet Parlementer ini berlangsung terus hingga tanggal 5 Juli 1959 saat Presiden mengumumkan Dekrit Presiden yang menyatakan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 serta membubarkan Konstituante hasil Pemilu tahun 1955 setelah gagal menyusun Undang-Undang Dasar yang baru. Maka Presiden membentuk Kabinet Presidensiil yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden sesuai ketentuan UUD 1945. Kemudian Presiden memerintahkan Badan Perancang Pembangunan Nasional untuk menyusun suatu rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) dengan periode pembangunan berjangka waktu 8 tahunan (1961–1969) berdasarkan pidato kenegaraan Presiden tanggal 17 Agustus 1959.

Namun karena keterbatasan dana dan negara memprioritaskan perjuangan Tri Kora (1962) untuk merebut kembali Irian Barat dan mengembalikan kepangkuan wilayah Republik Indonesia dari kekuasaan Belanda, maka terpaksa PNSB belum dapat dilaksanakan dengan baik.

Pada tahun 1965 terjadi peristiwa pemberontakan G30S (Gerakan 30 September 1965) yang dipimpin oleh PKI untuk merebut kekuasaan negara Republik Indonesia. Dalam waktu singkat ABRI dapat mengatasi pemberontakan tersebut.

Tanggal 11 Maret 1966 Presiden menerbitkan Surat Perintah (terkenal dengan istilah Super Semar) kepada Letnan Jenderal Suharto selaku Pangkostrad untuk mengambil langkah-langkah pengamanan untuk menyelamatkan negara. Tetapi ternyata Super Semar tersebut dimanfaatkan untuk mengambil alih kekuasaan Presiden dengan dukungan MPRS.

Kemudian disusul dengan dibentuknya Pemerintahan Orde Baru dibawah pimipinan Jenderal Suharto yang menjanjikan untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Ternyata secara operasional sejak awal sudah menyimpang dari jiwa Pancasila dan UUD 1945, terbukti dengan terbitnya UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang jelas-jelas bertujuan menciptakan iklim kondusif bagi berkembangnya sistem ekonomi liberal kapitalistik serta diterapkannya sistem ekonomi trickle down effect yang menguntungkan fihak konglomerat dan tidak berpihak kepada kepentingan dan partisipasi rakyat yang nota bene adalah pemegang kedaulatan negara.

Dari pengalaman selama 58 tahun kemerdekaan Indonesia sejak 17 Agustus 1945, lebih dari 50 tahun telah diterapkan sistem demokrasi liberal yang menyimpang dari platform Amanat Proklamasi (Pancasila dan UUD 1945), yang membuktikan tidak cocok bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia dan telah mengakibatkan terjadinya degradasi hampir di seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Oleh karenanya secara arif dan bijaksana para pemimpin dituntut untuk segera sadar kembali pada platform perjuangan dan pembangunan negara Indonesia tersebut diatas, yaitu Amanat Proklamasi Kemerdekaan NKRI 17 Agustus 1945.

3. Pemahaman Amanat Proklamasi 1945

Dari pengalaman sejarah tersebut diatas terlihat bahwa Pancasila dan UUD 1945 dapat ditafsirkan sesuai dengan kepentingan dan keinginan rezim yang sedang berkuasa.
Oleh karenanya perlu diupayakan kesepakatan nasional untuk penafsiran secara obyektif dan baku dari platform Amanat Proklamasi 45 sedemikan sehingga dapat dihindari tafsiran yang menyimpang dan bahkan kontradiktif terhadap nilai-nilai dasar dari platform tersebut.

Bagi bangsa Indonesia yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, kenyataan sejarah adalah kehendak Tuhan. Begitu pula Proklamasi, Pancasila dan UUD 1945 adalah kenyataan sejarah yang merupakan pertanda zaman bagi bangsa Indonesia yang menunjukkan bahwa nasib bangsa Indonesia akan berubah dan berbalik dari sengsara akibat imperalisme dan feodalisme menjadi bahagia berdasar cita-cita luhurnya.

Proklamasi Kemerdekaan NKRI 17 Agustus 1945 adalah merupakan titik balik sejarah, dari status terjajah dan terhinakan berbalik menjadi status merdeka dan termuliakan. Hanya perlu diingat bahwa proses pembalikan status tersebut bukan terjadi dengan sendirinya, melainkan harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh dan kerja keras.

Pernyataan “kemerdekaan” nya dalam kalimat alinea pertama Proklamasi mempunyai makna hakiki yang bersumber pada nilai-nilai Pancasila baik sebagai pandangan hidup, sebagai filsafat, sebagai dasar negara, sebagai ideologi maupun sebagai suatu sistem kehidupan umat manusia.

Pernyataan pemindahan “kekuasaan“ dalam kalimat alinea kedua Proklamasi mempunyai makna pengalihan, pemberian dan pembagian kekuasaan yang diatur dalam UUD 1945 antara negara dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan ( pasal 1 ayat (2) ). Pembagian kekuasaan antara negara dan rakyat yang diatur dalam pasal-pasal dan ayat-ayat dari UUD 1945 menunjukkan bahwa masing-masing memperoleh kekuasaan sebesar 70 %. Dalam gambar grafis superposisi dari kedua kekuasaan menghasilkan tiga bentuk pengelolaan kekuasaan, yaitu 30 % murni pengelolaan kekuasaan negara, 30 % murni pnegelolaan kekuasaan rakyat (atau hak hidup rakyat), dan 40 % pengelolaan bersama (sharing dari negara dan rakyat) dalam bentuk koperasi.

Dalam aspek ekonomi pengelolaan bersama merupakan pengelolaan koperasi berskala nasional yang modalnya dihimpun bersama antara rakyat dan negara.

4. Ekonomi Pancasila (Ekonomi Indonesia dengan moral Pancasila) :

Dalam hal Pancasila sebagai suatu pandangan hidup maka sila-silanya merupakan sudut-sudut pandang atau aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
1). Ketuhanan Yang Maha Esa; merupakan aspek spiritual,
2). Kemanusiaan yang adil dan beradab; merupakan aspek kultural,
3). Persatuan Indonesia; merupakan aspek politikal,
4). Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; merupakan aspek sosial,
5). Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; merupakan aspek ekonomikal.

Kelima sila tersebut tidak dapat berdiri sendiri-sendiri melainkan tersusun secara hirarkis dan berjenjang yaitu sila pertama meliputi sila kedua, sila kedua meliputi sila ketiga, sila ketiga meliputi sila keempat dan sila keempat meliputi sila kelima. Atau sebaliknya dapat dikatakan sila kelima merupakan derivasi sila keempat, sila keempat merupakan derivasi sila ketiga, sila ketiga merupakan derivasi sila kedua dan sila kedua merupakan derivasi sila pertama (Prof. Dr. Notonegoro).

Dengan demikian maka ekonomi Pancasila telah mengandung seluruh nilai-nilai moral Pancasila dan mengacu pada seluruh aspek kehidupan sila-sila dari Pancasila.
Sesuai gambar grafis superposisi pembagian kekuasaan antara negara dan rakyat tersebut diatas, maka ekonomi Pancasila mewujud dan terdiri atas 3 (tiga) pilar sub sistem, yaitu :

(1). pilar ekonomi negara yang berfungsi untuk mendukung penyelenggaraan tugas negara dengan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, (negara kuat), dengan tugas pokok antara lain untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

(2). pilar ekonomi rakyat yang berbentuk koperasi (sharing antara negara dan rakyat) dan berfungsi untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, (home front kuat), dengan tugas pokok mewujudkan kehidupan layak bagi seluruh anggotanya.

(3). pilar ekonomi swasta yang berfungsi untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia (battle front kuat), dengan tugas pokok mewujudkan kemajuan usaha swasta yang memiliki daya kompetisi tinggi di dunia internasional.

Pengertian kompetisi dalam moral Pancasila bukan dan tidak sama dengan free fight competition a la barat yang di dalamnya mengandung cara-cara yang boleh merugikan fihak lain (tujuan menghalalkan cara).

Hubungan dagang dalam sistem ekonomi Pancasila harus tetap dalam kerangka untuk menjalin tali silaturahmi yang selalu bernuansa saling kasih sayang dan saling menguntungkan, menghindarkan kemuspraan (kesia-siaan).

Pola pengelolaan dari masing-masing pilar ekonomi tersebut berbeda dan membutuhkan kemampuan para pelaksana secara profesional agar hasilnya menjadi optimal sesuai dengan kebutuhan, tetapi tetap mendasarkan kerjanya pada prinsip efisiensi, efektifitas dan produktivitas kerja pada masing-masing pilar. Masing-masing pilar mempunyai pangsa pasar sendiri-sendiri meskipun tidak tertutup kemungkinan untuk saling kerjasama dan saling bantu tanpa merugikan salah satu fihak.

5. Koperasi Indonesia :

Berbeda dengan koperasi pada umumnya, maka koperasi yang dimaksud oleh Pancasila dan UUD 45, sesuai gambar grafis superposisi tersebut diatas adalah merupakan lembaga kehidupan rakyat Indonesia untuk menjamin hak hidupnya memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sehingga mewujudkan suatu Masyarakat adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang sepenuhnya merupakan hak setiap warga negara.

Pada dasarnya rakyat Indonesia memang bukan “homo ekonomikus” melainkan lebih bersifat “homo societas”, lebih mementingkan hubungan antar manusia ketimbang kepentingan materi/ekonomi (Jawa: Tuna sathak bathi sanak), contoh : membangun rumah penduduk dengan sistim gotong-royong (sambatan). Akibatnya di dalam sistem ekonomi liberal orang asli Indonesia menjadi termarginalkan tidak ikut dalam gerak operasional mainstream sistem ekonomi liberal yang menguasai sumber kesejahteraan ekonomi sehingga sampai kapanpun rakyat Indonesia tidak akan mengenyam kesejahteraan.

Oleh karena itu sistem ekonomi yang cocok bagi masyarakat Indonesia adalah sistem ekonomi tertutup yang bersifat kekeluargaan atau ekonomi rumah tangga, yaitu bangun koperasi yang menguasai seluruh proses ekonomi dari hulu hingga hilir, dari anggota, oleh anggota dan untuk anggota, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 beserta penjelasannya.

Dengan demikian maka koperasi betul-betul menguasai sumber kesejahteraan/rejeki dari sistem ekonomi itu dan dapat mendistribusikannya secara adil dan merata kepada seluruh anggotanya tanpa kecuali, tetapi sangat dipersyaratkan bahwa sistem pengeloaannya haruslah benar dan tertib tanpa kecurangan.

Sebagai contoh pengalaman atas pengelolaan sebuah koperasi yang benar dan tertib adalah Kosudgama (Koperasi Serba Usaha Dosen Gadjah Mada).

Dari pengalaman KOSUDGAMA dapat ditarik pelajaran bahwa:

Pertama : kesungguhan kerja pengurus dan staf serta kesetiaan mereka pada prinsip-prinsip koperasi, yaitu bekerjasama dengan ikhlas dan jujur demi kepentingan anggota.

Kedua : KOSUDGAMA adalah koperasi kumpulan orang, bukan organisasi yang terutama dibentuk untuk menghimpun modal, jadi memenuhi prinsip-prinsip dasar koperasi.

Dengan demikian sebagai salah satu pilar dalam sistem ekonomi Pancasila koperasi Indonesia merupakan sakaguru perekonomian rakyat yang paling strategis untuk menjamin terwujudnya masyarakat adil dan makmur.

Gambaran lebih konkrit dari wujud Masyarakat Indonesia yang adil dan makmur adalah apabila setiap anggota keluarga memperoleh penghasilan yang cukup untuk membiayai kehidupan keluarga dengan cukup dalam memenuhi 5 jenis kebutuhan dasar hidupnya, yaitu di bidang 1.pangan (cukup gizi), 2.pakaian (pantas, sehat, sopan), 3.perumahan (sehat, aman, nyaman), 4.kesehatan (fisik, mental, lingkungan), dan 5.pendidikan (gratis selama 9 – 15 tahun pertama).

Pengelolaan untuk memenuhi kelima jenis kebutuhan dasar anggota koperasi itu dapat diatur untuk memenuhi 5 jenis kebutuhan pokok yang lain, yaitu : 1.penyediaan lapangan kerja, 2.jaminan sosial, 3.transportasi dan komunikasi, 4.informasi dan pengetahuan umum, 5.pengembangan pribadi. Peningkatan kebutuhan-kebutuhan lain ini akan dapat semakin meningkatkan pendapatan keluarga dan sekaligus untuk memanfaatkan potensi kinerja yang dimiliki tiap anggota koperasi yang hingga kini masih tersia-siakan karena tidak terprogram.

Andil dari negara adalah hak guna pemanfaatan kekayaan alam baik di darat maupun di laut yang dibutuhkan oleh koperasi dalam rangka melaksanakan tugasnya untuk memenuhi kelima kebutuhan dasar hidup maupun kelima kebutuhan pokok para anggotanya, dan berupa fasilitas kemudahan bagi terselenggaranya kerja koperasi antara lain modal dana baik hibah maupun pinjaman lunak.

6. Pengelolaan Koperasi Indonesia :

Sebagaimana disebutkan di depan bahwa koperasi Indonesia sebagai lembaga ekonomi yang mampu mewujudkan Masyarakat Indonesia yang adil dan makmur apabila dikelola secara benar dan tertib.

Oleh karena itu perlu diberikan arah dan pedoman yang benar agar selalu dapat dikendalikan dan diluruskan setiap kali terjadi penyimpangan.

Sebagai arahan yang benar antara lain dapat dikutipkan beberapa Kesimpulan dan Penutup” dari penulisan “Sistem Ekonomi Indonesia dengan moral Pancasila” (bab 3) dalam buku EKONOMI PANCASILA (Landasan Pikir & Misi Pendirian) PUSTEP UGM sebagai berikut :

a. Reformasi ekonomi mempunyai tujuan kembar yaitu meningkatkan efisiensi ekonomi nasional dan sekaligus menghapus berbagai ketidakadilan ekonomi dengan tujuan akhir terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

b. Reformasi ekonomi Indonesia adalah pembaruan berbagai aturan main tentang hubungan-hubungan ekonomi dalam masyarakat. Aturan-aturan main ini secara keseluruhan dibakukan dalam Sistem Ekonomi Pancasila.

c. Dalam Sistem Ekonomi Pancasila pembangunan nasional merupakan pengamalan Pancsila yang akan memperkuat jati diri dan kepribadian manusia, masyarakat dan bangsa Indonesia.

d. Ideologi Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan (Mukadimah) UUD 1945, merupakan pegangan dan landasan strategi pembangunan nasional. Namun demikian strategi pembangunan nasional yang dilandasi ideologi nasional Pancasila belum pernah benar-benar diterima dan dilaksanakan secara ikhlas oleh seluruh warga bangsa.

e. Visi masa depan yang jernih hanya dapat diproyeksikan dengan menggunakan ideologi Pancasila yang setiap pelakunya berusaha mewujudkannya dalam tindakan konkrit kehidupan sehari-hari terutama dengan menunjuk pada ajaran-ajaran moral agama.

Dalam masyarakat Indonesia yang adil dan makmur seperti yang dicita-citakan, setiap warga negara berhak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (pasal 27 ayat 2 UUD 1945), tanpa kecuali. Pengertian Ini mengandung konsekuensi bahwa segenap tenaga kerja Indonesia harus habis terserap dalam sistem ekonomi Pancasila yang terdiri atas tiga pilar ekonomi tersebut.

Dalam pilar ekonomi negara unsur tenaga kerjanya tentu selektif dan terbatas. Begitu pula dalam pilar ekonomi swasta kebutuhan tenaga kerjanya tentu juga selektif dan terbatas karena harus mampu bekerja secara efisien, efektif dan produktif guna mencapai daya saing yang cukup tinggi dalam dunia perdagangan dan usahanya.

Apabila dalam kedua pilar tersebut diatas kebutuhan tenaga kerjanya terbatas maka dalam pilar ekonomi rakyat atau koperasi penyerapan tenaga kerjanya tidak boleh terbatas karena tidak boleh terjadi adanya tenaga kerja yang tidak mendapat pekerjaan. Sebagai konsekuensinya maka segenap warga negara harus menjadi anggota koperasi Indonesia.

Dengan demikian maka pola pengelolaan koperasi Indonesia dituntut untuk mampu menciptakan suatu sistem manajemen sedemikian sehingga tujuan tersebut dapat tercapai. Untuk keperluan itu dibutuhkan bantuan dari Lembaga Perguruan Tinggi yang terkait dengan masalah tersebut.

7. Penutup :

a. Kesimpulan :

Dari uraian singkat tersebut diatas secara garis besar dapat disimpulkan sebagai berikut :

1). Penyelenggaraan koperasi yang terjadi hingga sekarang di Indonesia belum sesuai dengan maksud Amanat 1945, yaitu Ekonomi Pancasila, oleh karenanya belum mampu mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
2). Sistem koperasi Indonesia yang mengacu pada ketentuan-ketentuan Amanat 1945 diyakini dapat mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, karena semua unsur-unsur yang diperlukan bagi penyelenggaraannya sudah tersedia di dalam negeri, tinggal sistem pengelolaan beserta aturan mainnya.
3). Diperlukan pemikiran-pemikiran baru dan konsep-konsep baru yang mengacu kepada ketentuan-ketentuan dasar sebagaimana dimaksud dalam pengertian Amanat 1945 sehingga rakyat/setiap warga negara dapat dijamin untuk memperoleh hak-haknya melalui keanggotaannya dalam koperasi Indonesia.
4). Diperlukan persiapan yang matang bagi terselenggaranya sistem koperasi Indonesia melalui studi induktif logis maupun deduktif baik formal maupun tradisional kultural.
5). Diperlukan pengertian dan goodwill dari Pemerintah dan semua fihak untuk mengerti dan mendukung serta berpartisipasi aktif dalam usaha pengembangan konsep baru ekonomi Pancasila agar dapat segera mengatasi krisis multi demensional yang terjadi selama ini.

b. Pendapat dan Saran :

Karena konsep baru dari sistem ekonomi Pancasila sudah didasarkan atas hukum-hukum dasar yang berlaku di Indonesia sesuai dengan Amanat 1945, maka perlu ditentukan tahap-tahap langkah kerjanya dan kemudia direntang dalam jadwal kegiatan dan waktu untuk diarahkan kepada kesepakatan pembakuan nasional menjadi konsepsi nasional untuk kemudian dioperasionalkan.

DARI ILMU BERKOMPETISI KE ILMU BERKOPERASI

Pendahuluan

Ketika memenuhi undangan IKOPIN Jatinangor untuk memberikan seminar tentang Pengajaran Ilmu Ekonomi di Indonesia tanggal 7 – 8 Mei 2003, kami terkejut saat mengetahui IKOPIN bukan singkatan dari Institut (Ilmu) Koperasi Indonesia, tetapi Institut Manajemen Koperasi Indonesia. Ternyata pada saat berdirinya IKOPIN tahun 1984, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi yang berwenang memberikan ijin operasi perguruan-perguruan tinggi berpendapat ilmu koperasi tidak dikenal dan yang ada adalah ilmu ekonomi. Karena koperasi lebih dimengerti sebagai satu bentuk badan usaha, maka ilmu yang tepat untuk mempelajari koperasi adalah cabang ilmu ekonomi mikro yaitu manajemen. Masalah koperasi dianggap semata-mata sebagai masalah manajemen yaitu bagaimana mengelola organisasi koperasi agar efisien, dan agar, sebagai organisasi ekonomi, memperoleh keuntungan (profit) sebesar-besarnya seperti organisasi atau perusahaan-perusahaan lain yang dikenal yaitu perseroan terbatas atau perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN).

Pada tahun-tahun tujuhpuluhan Bapak Koperasi Indonesia Bung Hatta mengkritik pedas koperasi–koperasi Indonesia yang lebih nampak berkembang sebagai koperasi pengurus, bukan koperasi anggota. Organisasi koperasi seperti KUD (Koperasi Unit Desa) dibentuk di semua desa di Indonesia dengan berbagai fasilitas pemberian pemerintah tanpa anggota, dan sambil berjalan KUD mendaftar anggota petani untuk memanfaatkan gudang danlaintai jemur gabah, mesin penggiling gabah atau dana untuk membeli pupuk melalui kredit yang diberikan KUD. Walhasil anggota bukan merupakan prasarat berdirinya sebuah koperasi.

Terakhir, kata koperasi yang disebut sebagai bangun perusahaan yang sesuai dengan asas kekeluargaan dihapus dari UUD 1945 ketika ST-MPR 2002 membuat putusan “fatal” menghapuskan seluruh penjelasan atas pasal-pasal UUD 1945 dengan alasan tidak masuk akal a.l. “di negara-negara lain tidak ada UUD/konstitusi yang memakai penjelasan”. Akibat dari putusan ST-MPR 2002 adalah bahwa secara konstitusional, bangun usaha koperasi tidak lagi dianggap perlu atau wajib dikembangkan di Indonesia. Konsekuensi lebih lanjut jelas bahwa keberadaan lembaga Menteri Negara Koperasi & UKM pun kiranya sulit dipertahankan. Meskipun sistem ekonomi Indonesia tetap berdasar asas kekeluargaan, tetapi organisasi koperasi tidak merupakan keharusan lagi untuk dikembangkan di Indonesia. Inilah sistem ekonomi yang makin menjauh dari sistem ekonomi Pancasila.

Reformasi Kebablasan

Sistem Ekonomi Indonesia berubah menjadi makin liberal mulai tahun 1983 saat diluncurkan kebijakan-kebijakan deregulasi setelah anjlognya harga ekspor minyak bumi. Pemerintah Indonesia yang telah dimanja bonansa minyak (1974 – 1981) merasa tidak siap untuk tumbuh terus 7% per tahun dalam kondisi ekonomi lesu, sehingga kemudian memberi kebebasan luar biasa kepada dunia usaha swasta (dalam negeri dan asing) untuk “berperan serta” yaitu membantu pemerintah dalam membiayai pembangunan nasional. Pemerintah memberikan kebebasan kepada orang-orang kaya Indonesia untuk mendirikan bank yang secara teoritis akan membantu mendanai proyek-proyek pembangunan ekonomi. Kebebasan mendirikan bank-bank swasta yang disertai kebebasan menentukan suku bunga (tabungan dan kredit) ini selanjutnya menjadi lebih liberal lagi tahun 1988 dalam bentuk penghapusan sisa-sisa hambatan atas keluar-masuknya modal asing dari dan ke Indonesia. Jumlah bank meningkat dari sekitar 70 menjadi 240 yang kemudian sejak krismon dan krisis perbankan 1997 – 1998 menciut drastis menjadi dibawah 100 bank. Krismon dan krisbank jelas merupakan rem “alamiah” atas proses kemajuan dan pertumbuhan ekonomi “terlalu cepat” (too rapid) yang sebenarnya belum mampu dilaksanakan ekonomi Indonesia, sehingga sebagian besar dananya harus dipinjam dari luar negeri atau melalui investasi langsung perusahaan-perusahaan multinasional.

Kondisi ekonomi Indonesia pra-krisis 1997 adalah kemajuan ekonomi semu di luar kemampuan riil Indonesia. Maka tidak tepat jika kini pakar-pakar ekonomi Indonesia berbicara tentang “pemulihan ekonomi” (economic recovery) kepada kondisi sebelum krisis dengan pertumbuhan ekonomi “minimal” 7% per tahun. Indonesia tidak seharusnya memaksakan diri bertumbuh melampaui kemampuan riil ekonominya. Jika dewasa ini ekonomi Indonesia hanya tumbuh 3-4% per tahun tetapi didukung ekonomi rakyat, sehingga hasilnya juga dinikmati langsung oleh rakyat, maka angka pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah itu jauh lebih baik dibanding angka pertumbuhan ekonomi tinggi (6-7% per tahun) tetapi harus didukung pinjaman atau investasi asing dan distribusinya tidak merata.

Reformasi ekonomi yang diperlukan Indonesia adalah reformasi dalam sistem ekonomi, yaitu pembaruan aturan main berekonomi menjadi aturan main yang lebih menjamin keadilan ekonomi melalui peningkatan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Jika kini orang menyebutnya sebagai perekonomian yang bersifat kerakyatan, maka artinya sistem atau aturan main berekonomi harus lebih demokratis dengan partisipasi penuh dari ekonomi rakyat. Inilah demokrasi ekonomi yang diamanatkan pasal 33 UUD 1945 dan penjelasannya.

Amandemen terhadap Amandemen:

Perubahan Ke-empat Pasal 33 UUD 1945 melanggar Pancasila dan tidak sesuai kehendak rakyat
Pasal 33 UUD 1945 yang terdiri atas 3 ayat, dan telah menjadi ideologi ekonomi Indonesia, melalui perdebatan politik panjang dan alot dalam 2 kali sidang tahunan MPR (2001 dan 2002), di-amandemen menjadi 5 ayat berikut:

1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan (lama)
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (lama)
3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (lama)
4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. (Perubahan Keempat)
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. (Perubahan Keempat)

Dipertahankannya 3 ayat lama pasal 33 ini memang sesuai dengan kehendak rakyat. Tetapi dengan penambahan ayat 4 menjadi rancu karena ayat baru ini merupakan hal teknis menyangkut pengelolaan dan pelaksanaan kebijakan dan program-program pembangunan ekonomi. Pikiran di belakang ayat baru ini adalah paham persaingan pasar bebas yang menghendaki dicantumkannya ketentuan eksplisit sistem pasar bebas dalam UUD. Asas efisiensi berkeadilan dalam ayat 4 yang baru ini sulit dijelaskan maksud dan tujuannya karena menggabungkan 2 konsep yang jelas amat berbeda bahkan bertentangan.

Kekeliruan lebih serius dari perubahan ke 4 UUD adalah hilangnya asas ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi yang tercantum dalam penjelasan pasal 33 karena ST-MPR 2002 memutuskan menghapuskan seluruh penjelasan UUD 1945.

Demikian karena kekeliruan-kekeliruan fatal dalam amandemen pasal 33 UUD 1945, ST-MPR 2003 yang akan datang harus dapat mengoreksi dan membuat amandemen atas amandemen pasal 33 dengan menyatakan kembali berlakunya seluruh Penjelasan UUD 1945 atau dengan memasukkan materi penjelasan pasal 33 ke dalam batang tubuh UUD 1945.

Ilmu Ekonomi Sosial

Social economics insists that justice is a basic element of socio-economic organization. It is, indeed, far more important than allocative efficiency. Inefficient societies abound and endure on the historical record but societies that lack widespread conviction as to their justness are inherently unstable. (Stanfield, 1979: 164)

Meskipun secara prinsip kami berpendapat teori dualisme ekonomi Boeke (1910, 1930) sangat bermanfaat untuk mempertajam analisis masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi bangsa dan rakyat Indonesia, namun pemilahan secara tajam kebutuhan rakyat ke dalam kebutuhan ekonomi dan kebutuhan sosial harus dianggap menyesatkan. Yang benar adalah adanya kebutuhan sosial-ekonomi (socio-economic needs). Adalah tepat pernyataan Gunnar Myrdal seorang pemenang Nobel Ekonomi bahwa:

The isolation of one part of social reality by demarcating it as “economic” is logically not feasible. In reality, there are no “economic”, “sociological”, or “psychological” problems, but just problems and they are all complex. (Myrdal, 1972: 139, 142
)
Pernyataan Myrdal ini secara tepat menunjukkan kekeliruan teori ekonomi Neoklasik tentang “economic man” (homo economicus) sebagai model manusia rasional yang bukan merupakan manusia etis (ethical man) dan juga bukan manusia sosial (sociological man). Adam Smith yang dikenal sebagai bapak ilmu ekonomi sebenarnya dalam buku pertamanya (The Theory of Moral Sentiments, 1759) menyatakan manusia selain sebagai manusia ekonomi adalah juga manusia sosial dan sekaligus manusia ethik.

Jelaslah bahwa perilaku ekonomi manusia Indonesia tidak mungkin dapat dipahami secara tepat dengan semata-mata menggunakan teori ekonomi Neoklasik Barat tetapi harus dengan menggunakan teori ekonomi Indonesia yang dikembangkan tanpa lelah dari penelitian-penelitian induktif-empirik di Indonesia sendiri.

Jika pakar-pakar ekonomi Indonesia menyadari keterbatasan teori-teori ekonomi Barat (Neoklasik) seharusnya mereka tidak mudah terjebak pada kebiasaan mengadakan ramalan (prediction) berupa “prospek” ekonomi, dengan hanya mempersoalkan pertumbuhan ekonomi atau investasi dan pengangguran. Mengandalkan semata-mata pada angka pertumbuhan ekonomi, yang dasar-dasar penaksirannya menggunakan berbagai asumsi yang tidak realistis sekaligus mengandung banyak kelemahan, sangat sering menyesatkan.

Pakar-pakar ekonomi Indonesia hendaknya tidak cenderung mencari gampangnya saja tetapi dengan bekerja keras dengan kecerdasan tinggi mengadakan penelitian-penelitian empirik untuk menemukan masalah-masalah konkrit yang dihadapi masyarakat dan sekaligus menemukan obat-obat penyembuhan atau pemecahannya.

Penutup

Dalam era otonomi daerah setiap daerah terutama masyarakat desanya harus memiliki rasa percaya diri bahwa melalui organisasi kooperasi (koperasi) kegiatan ekonomi rakyat dapat diperhitungkan keandalan kekuatannya. Koperasi harus mereformasi diri meninggalkan sifat-sifat koperasi sebagai koperasi pengurus menjadi koperasi anggota dalam arti kata sebenarnya. Jika koperasi benar-benar merupakan koperasi anggota maka tidak akan ada program/kegiatan koperasi yang tidak berkaitan langsung dengan kepentingan/kebutuhan anggota. Dengan perkataan lain setiap “produk” atau kegiatan usaha koperasi harus berdasarkan “restu” atau persetujuan anggota. Koperasi tidak mencari keuntungan karena anggotalah yang mencari keuntungan yang harus menjadi lebih besar dengan bantuan organisasi koperasi.

Bersamaan dengan pembaruan praktek-praktek berkoperasi, akan lahir dan berkembang ilmu koperasi, yang merupakan “ilmu ekonomi baru” di Indonesia, yang merupakan ilmu sosial ekonomi (social economics). Ilmu ekonomi baru ini merupakan ilmu ekonomi tentang bagaimana bekerja sama (cooperation) agar masyarakat menjadi lebih sejahtera, lebih makmur, dan lebih adil, bukan sekedar masyarakat yang lebih efisien (melalui persaingan/kompetisi) yang ekonominya tumbuh cepat. Ilmu ekonomi yang baru ini tidak boleh melupakan cirinya sebagai ilmu sosial yang menganalisis sifat-sifat manusia Indonesia bukan semata-mata sebagai homo-ekonomikus, tetapi juga sebagai homo-socius dan homo-ethicus. Dengan sifat ilmu ekonomi yang baru ini ilmu ekonomi menjadi ilmu koperasi

The nature of homo ethicus is completely different and indeed opposite to that of homo economicus. He is altruistic and cooperative individual, honest and truth telling, trusty and who trust others. He derives moral and emotional well-being from honouring his obligations to others, has a strong sense of duty and a strong commitment to social goals (Lunati, 1997:140)

Dalam tatanan ekonomi baru pemerintah termasuk pemerintah daerah berperan menjaga dipatuhinya aturan main berekonomi yang menghasilkan “sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Otonomi daerah yang merupakan simbol kewenangan daerah untuk mengelola sendiri ekonomi daerah harus dilengkapi desentralisasi fiskal yang diatur secara serasi oleh pemerintah daerah bersama DPRD, kesemuanya diarahkan pada kesejahteraan rakyat yang maksimal.

WAJAH KOPERASI TANI DAN NELAYAN DI INDONESIA: SEBUAH TINJAUAN KRITIS

Latar Belakang

1. Meskipun koperasi pertanian pernah menjadi model pengembangan pada tahun 1960an hingga awal tujuh puluhan, namun pada dasarnya koperasi pertanian di Indonesia diperkenalkan sebagai bagian dari dukungan terhadap sektor pertanian. Sejak dahulu sektor pertanian di Indonesia selalu didekati dengan pembagian atas dasar sub-sektor seperti pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan. Cara pengenalan dan penggerakan koperasi pada saat itu mengikuti program pengembangan komoditas oleh pemerintah. Sehingga terlahir koperasi pertanian, koperasi kopra, koperasi karet, koperasi nelayan dan lain-lain. Dua jenis koperasi yang tumbuh dari bawah dan jumlahnya terbatas ketika itu adalah koperasi peternakan sapi perah dan koperasi tebu rakyat. Kedua-duanya mempunyai ciri yang sama yaitu menghadapi pembeli tunggal pabrik gula dan konsumen kota.

2. Pada sub sektor pertanian tanaman pangan yang pernah diberi nama “pertanian rakyat” praktis menjadi instrumen untuk menggerakkan pembangunan pertanian, terutama untuk mencapai swasembada beras. Hal serupa juga di ulang oleh pemerintah Orde Baru dengan mengaitkan dengan pembangunan desa dan tidak lagi terikat ketat dengan Departemen Pertanian seperti pada masa Orde Lama dan awal Orde Baru. Tugas koperasi pertanian ketika itu adalah menyalurkan sarana produksi pertanian terutama pupuk, membantu pemasaran yang kesemuanya berkaitan dengan program pembangunan sektor pertanian dan “pengerakannya” kepada koperasi selalu apabila gagal dilaksanakan sendiri atau langsung oleh pemerintah, contoh padi sentra, kredit BIMAS hingga distribusi pupuk.

3. KUD sebagai koperasi berbasis wilayah jumlahnya hanya 8620 unit dan pendiriannya memang tidak terlalu luas. Hingga menjelang dicabutnya Inpres 4/1984 KUD hanya mewakili 25% dari jumlah koperasi yang ada ketika itu, namun dalam hal bisnis mereka mewakili sekitar 43% dari seluruh volume bisnis koperasi di Indonesia. KUD meskipun bukan koperasi pertanian namun secara keseluruhan dibandingkan koperasi lainnya tetap lebih mendekati koperasi pertanian dan karakternya sebagai koperasi berbasis pertanian juga sangat menonjol. Diantara koperasi yang ada di Indonesia yang jumlahnya pada saat ini lebih dari 103 ribu unit, KUD termasuk yang mempunyai jumlah KUD aktif tertinggi yaitu 92% atau sebanyak 7931 unit KUD pada saat ini tidak berbeda dengan koperasi lainnya dan tidak memperoleh privilege khusus, tidak terikat dengan wajib ikut program sektoral, sehingga pada dasarnya sudah menjadi koperasi otonomi yang memiliki rata-rata anggota terbesar.

4. Koperasi pertanian yang digerakan melalui pengembangan kelompok tani setelah keluarnya Inpres 18/1998 mempunyai jumlah yang besar, namun praktis belum memiliki basis bisnis yang kuat dan mungkin sebagian sudah mulai tidak aktif lagi. Usaha mengembangkan koperasi baru di kalangan tani dan nelayan selalu berakhir kurang menggembirakan. Mereka yang berhasil jumlah terbatas dan belum dapat dikategorikan sebagai koperasi pertanian sebagai mana lazimnya koperasi pertanian di dunia atau bahkan oleh KUD-khusus pertanian yang ada.

Posisi Pertanian : Kini dan Ke Depan

5. Posisi sektor pertanian sampai saat ini tetap merupakan penyedia lapangan kerja terbesar dengan sumbangan terhadap pembentukan produksi nasional yang kurang dari 19%. Jika dimasukkan keseluruhan kegiatan off form yang terkait dan sering dinyatakan sebagai sektor agribisnis juga hanya mencakup 47%, sehingga dominasi pembentukan nilai tambah juga sudah berkurang dibandingkan dengan sektor-sektor di luar pertanian. Isue peran pertanian sebagai penyedia pangan, bentuk ketahanan pangan juga menurun derajat kepentingan nya.

6. Ditinjau dari unit usaha pertanian terdapat 23,76 juta unit atau 59% dari keseluruhan unit usaha yang ada. Disektor pertanian hanya terdapat 23,76 juta usaha kecil dengan omset dibawah 1 miliar/tahun dimana sebagian terbesar dari usaha tersebut adalah usaha mikro dengan omset dibawah Rp. 50 juta/thn. Secara kasar dapat diperhitungkan bahwa hanya sekitar 670 ribu unit usaha kecil di sektor pertanian yang bukan usaha mikro, oleh karena itu daya dukungnya sangat lemah dalam memberikan kesejahteraan bagi para pekerja. Sementara itu penguasaan tanah berdasarkan sensus pertanian 1993 sekitar 43% tanah pertanian berada di tangan 13% rumah tangga dengan pemilikan diatas 1 hektar saja. Sehingga petani besar sebenarnya potensial dilihat sebagai modal untuk menjadi lokomotif pembangunan pertanian.

7. Problematika sektor pertanian di Indonesia yang akan mempengaruhi corak pengembangan koperasi pertanian dimasa depan adalah issue kesejahteraan petani, peningkatan produksi dalam suasana desentralisasi dan perdagangan bebas. Bukti empiris di dunia Mengungkapkan bahwa pertanian keluarga tidak mampu menopang kesejahteraan yang layak setara dengan sektor lainnya dalam suasana perdagangan bebas. Thema ini menjadi penting untuk melihat arah kebijakan pertanian dalam jangka menengah dan panjang, terutama penetapan pilihan sulit yang melilit sektor pertanian akibat berbagai Rasionalisasi. Kelangsungan hidup koperasi pertanian dimasa lalu sangat terkait politik reservasi tersebut, dan ke depan hal ini juga akan sangat menentukan.

8. Untuk melihat posisi koperasi secara kritis perlu didasarkan pada posisi sektor pertanian yang semakin terbuka dan bebas. Dengan dasar bahwa proses liberalisasi perdagangan yang berdampak pada sektor pertanian dalam bentuk dihapuskan kebijakan perencanaan pertanian yang kaku dan terpokus. Sehingga pengekangan program pembangunan pertanian tidak mungkin lagi dijalankan secara bebas, tetapi hanya dapat dilakukan secara lokal dan harus sesuai dengan potensi lokal. Olah karena itu prinsip pengembangan pertanian akan lebih bersifat insentif driven ketimbang program driven seperti dimasa lalu. Dengan demikian corak koperasi pertanian akan terbuka tetapi untuk menjamin kelangsungan hidupnya akan terbatas pada sektor selektif yang memenuhi persyaratan tumbuhnya koperasi.

Sketsa Koperasi Pertanian di Masa Depan

9. Perkembangan koperasi pertanian ke depan digambarkan sebagai “restrukturisasi” koperasi yang ada dengan fokus pada basis penguatan ekonomi untuk mendukung pelayanan pertanian skala kecil. Oleh karena itu konsentrasi ciri umum koperasi pertanian di masa depan adalah koperasi kredit pedesaan, yang menekankan pada kegiatan jasa keuangan dan simpan pinjam sebagai ciri umum. Pada saat ini saja hampir di semua KUD, unit simpan pinjam telah menjadi motor untuk menjaga kelangsungan hidup Koperasi. Sementara kegiatan pengadaan sarana produksi dan pemasaran hasil menjadi sangat selektif. Hal ini terkait dengan struktur pertanian dan pasar produk pertanian yang semakin kompetitif, termasuk jasa pendukung pertanian (jasa penggilingan dan pelayanan lainnya) yang membatasi insentif berkoperasi.

10. Koperasi Nelayan karena kekuatan utamanya terletak pada kekuatan monopoli penguasaan pendaratan dan lelang oleh pemerintah, akan sangat di tentukan oleh policy daerah hak itu akan diberikan kepada siapa ? Pemerintah daerah juga potensial untuk melahirkan pesaing baru dengan membangun pendaratan baru. Dengan pengorganisasian atas dasar kesamaan tempat pendaratan pada dasarnya kekuatannya terletak pada daya tarik tempat pendaratan. Persoalan yang dihadapi koperasi nelayan ke depan adalah alih fungsi dari "nelayan tangkap" menjadi “nelayan budidaya”, karena hampir sebagian terbesar perairan perikanan pantai sudah di kategorikan overfishing. Fenomena ini juga terjadi di negara seperti Canada, Korea Selatan dan Eropa dimana koperasi nelayan sedang menghadapi situasi surut.

11. Koperasi perkebunan tetap mempunyai prospek yang bagus terutama yang terkait dengan industri pengolahan. Namun dalam situasi kesulitan menarik investasi karena kurangnya insentif, kebangkitan ini akan tertunda. Potensi besar sektor perkebunan untuk memanfaatkan kelembagaan koperasi dapat direalisasi dengan dukungan restrukturisasi status aset anggota dalam koperasi atau pengenalan konsep "saham" sebagai equity dibanding "simpanan" yang tidak transferable.

12. Koperasi di sub sektor peternakan terutama peternakan sapi perah apapun kebijakan yang ditempuh akan mampu berkembang dengan karakter koperasi yang kental. Prasyarat untuk memajukan koperasi di bidang persusuan ini dalam menghadapi persaingan global antara lain:
a. Bebaskan anggota yang ada hingga usahanya minimal skala mikro atau minimal 10 ekor/anggota.
b. Bebaskan setiap koperasi hingga mencapai satuan yang layak sebagai kluster peternakan minimal 15.000liter/hari dan idealnya menuju pada 100.000 liter/hari.
c. Integrasi untuk konsep pertanian dan peternakan agar menjamin kesatuan unit untuk meningkatkan kepadatan investasi pertanian.

13. Untuk kegiatan pertanian lainnya agar lebih berhati-hati untuk mengenalkan konsep koperasi ke dalam kegiatan pertanian. Persyaratan usaha masing-masing anggota, kesesuaian struktur pasar dan keterkaitan jangka panjang antara bisnis anggota dan kegiatan koperasi akan tetap menjadi pertimbangan kepentingan untuk menumbuhkan koperasi pertanian. Pada akhirnya daerah otonom sebagai suatu kesatuan administrasi harus dilihat sebagai basis pemusatan koperasi.

KOPERASI INDONESIA: POTRET DAN TANTANGAN

I. Latar Belakang

1. Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju (barat) dan negara berkembang memang sangat diametral. Di barat koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional. Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh kemudian sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya.

2. Di negara berkembang koperasi dirasa perlu dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran antara kesamaan dan kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di negara berkembang, baik oleh pemerintah kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan, berbagai peraturan perundangan yang mengatur koperasi dilahirkan dengan maksud mempercepat pengenalan koperasi dan memberikan arah bagi pengembangan koperasi serta dukungan/perlindungan yang diperlukan.

3. Pengalaman di tanah air kita lebih unik karena koperasi yang pernah lahir dan telah tumbuh secara alami di jaman penjajahan, kemudian setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan yang sangat tinggi dalam penjelasan undang-undang dasar. Dan atas dasar itulah kemudian melahirkan berbagai penafsiran bagaimana harus mengembangkan koperasi. Paling tidak dengan dasar yang kuat tersebut sejarah perkembangan koperasi di Indonesia telah mencatat tiga pola pengembangan koperasi. Secara khusus pemerintah memerankan fungsi “regulatory” dan “development” secara sekaligus (Shankar 2002). Ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan pola penitipan kepada program yaitu : (i) Program pembangunan secara sektoral; (ii) Lembaga-lembaga pemerintah; dan (iii) Perusahaan baik milik negara maupun swasta. Sebagai akibatnya prakarsa masyarakat luas kurang berkembang dan kalau ada tidak diberikan tempat semestinya.

4. Selama ini “koperasi” di¬kem¬bangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer yang memberikan lapangan kerja terbesar ba¬gi penduduk Indonesia. KUD sebagai koperasi program yang didukung dengan program pem¬bangunan untuk membangun KUD. Di sisi lain pemerintah memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan seperti yang se¬lama PJP I, menjadi ciri yang menonjol dalam politik pem¬bangunan koperasi. Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi melanjutkan program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah, seperti penyaluran kredit BIMAS menjadi KUT, pola pengadaan bea pemerintah, TRI dan lain-lain sampai pada penciptaan monopoli baru (cengkeh).

II. Potret Koperasi Indonesia

5. Sampai dengan bulan November 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggota ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-November 2001, sebanyak 96.180 unit (88,14 persen). Corak koperasi Indonesia adalah koperasi dengan skala sangat kecil.

6. Secara historis pengembangan koperasi di Indonesia yang telah digerakan melalui dukungan kuat program pemerintah yang telah dijalankan dalam waktu lama, dan tidak mudah ke luar dari kungkungan pengalaman ter¬sebut. Jika semula ketergantungan terhadap captive market program menjadi sumber pertumbuhan, maka pergeseran ke arah peran swasta menjadi tantangan baru bagi lahirnya pesaing-pesaing usaha terutama KUD.

7. Jika melihat posisi koperasi pada hari ini sebenarnya masih cukup besar harapan kita kepada koperasi. Memasuki tahun 2000 posisi koperasi Indonesia pada dasarnya justru didominasi oleh koperasi kredit yang menguasai antara 55-60 persen dari keseluruhan aset koperasi dan dilihat dari populasi koperasi yang terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25% dari populasi koperasi atau sekitar 35% dari populasi koperasi aktif. Pada akhir-akhir ini posisi koperasi dalam pasar Perkreditan mikro menempati tempat kedua setelah BRI-unit desa dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian walaupun program pemerintah cukup gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan kemandirian koperasi, tetapi hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada. Sehingga pada dasarnya masih besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi.

8. Mengenai jumlah koperasi yang meningkat dua kali lipat dalam waktu 3 tahun 1998 –2001, pada dasarnya tumbuh sebagai tanggapan terhadap dibukanya secara luas pendirian koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan lahirnya Inpres 18/1998. Sehingga orang bebas mendirikan koperasi pada basis pengembangan dan pada saat ini sudah lebih dari 35 basis pengorganisasian koperasi. Kesulitannya pengorganisasian koperasi tidak lagi taat pada penjenisan koperasi sesuai prinsip dasar pendirian koperasi atau insentif terhadap koperasi. Keadaan ini menimbulkan kesulitan pada pengembangan aliansi bisnis maupun pengembangan usaha koperasi kearah penyatuan vertical maupun horizontal.

9. Struktur organisasi koperasi Indonesia mirip organisasi pemerintah/lembaga kemasyarakatan yang terstruktur dari primer sampai tingkat nasional. Hal ini telah menunjukkan kurang efektif nya peran organisasi sekunder dalam membantu koperasi primer. Tidak jarang menjadi instrumen eksploitasi sumberdaya dari daerah pengumpulan. Fenomena ini dimasa datang harus diubah karena adanya perubahan orientasi bisnis yang berkembang dengan globalisasi.

III. Kemanfaatan Koperasi

10. Secara teoritis sumber kekuatan koperasi sebagai badan usaha dalam konteks kehidupan perekonomian, dapat dilihat dari kemampuan untuk menciptakan kekuatan monopoli dengan derajat monopoli tertentu. Tetapi ini adalah kekuatan semu dan justru dapat menimbulkan kerugian bagi anggota masyarakat di luar koperasi. Sumber kekuatan lain adalah kemampuan memanfaatkan berbagai potensi external economies yang timbul di sekitar ke¬giat¬an ekonomi para anggotanya. Dan kehematan tersebut ha¬nya dapat dinikmati secara bersama-sama, termasuk dalam hal menghindarkan diri dari adanya external diseconomies itu.

11. Kehematan-kehematan yang dapat menjadi sumber kekuatan ko¬perasi memang tidak terbatas pada nilai ekonomis nya sema¬ta. Kekuatan itu juga dapat bersumber dari faktor non-ekono¬mis yang menjadi faktor berpengaruh secara tidak langsung ter¬hadap kegiatan ekonomi anggota masyarakat dan badan usaha koperasi. Sehingga manfaat atau keuntungan koperasi pada dasarnya selalu ter¬kait dengan dua jenis manfaat, yaitu yang nyata (tangible) dan yang tidak nyata (intangible). Kemanfaatan koperasi ini ju¬ga selalu berkaitan dengan keuntungan yang bersifat eko¬no¬mi dan sosial. Karena koperasi selain memberikan keman¬fa¬atan ekonomi juga mempunyai perhatian dan kepedulian terhadap aspek so¬sial seperti pendidikan, suasana sosial kemasyarakatan, ling¬kungan hidup, dan lain-lain. Pembahasan ini difokuskan kepa¬da manfaat yang mendasari digunakannya mekanisme koperasi.

12. Dalam hal ini koperasi mempunyai kekuatan yang lain kare¬na koperasi dapat memberikan kemungkinan pengenalan teknologi baru melalui kehematan dengan mendapatkan infor¬masi yang langsung dan tersedia bagi setiap anggota yang me¬mer¬lukannya. Kesemuanya itu dilihat dalam kerangka peran¬¬an koperasi secara otonom bagi setiap individu anggotanya yang te¬lah memutuskan menjadi anggota koperasi. Dengan de¬mi¬kian sepanjang koperasi dapat menghasilkan kemanfaatan ter¬sebut bagi anggotanya maka akan mendorong orang untuk ber¬koperasi karena dinilai bermanfaat.

13. Dalam konteks yang lebih besar koperasi dapat dilihat se¬ba¬gai wahana koreksi oleh masyarakat pelaku ekonomi, ba¬ik produsen maupun konsumen, dalam memecahkan kega¬gal¬an pasar dan mengatasi inefisiensi karena ketidaksempur¬na¬an pasar. Secara teoritis koperasi akan tetap hadir jika terjadi ke-gagalan pasar. Jika pasar berkembang semakin kompetitif se¬cara alamiah koperasi akan menghadapi persaingan dari da¬lam. Karena segala insentif ekonomi yang selama ini didapat ti¬dak lagi bisa dimanfaatkan. Sehingga sumber kekuatan untuk tetap mempertahankan hadirnya koperasi terletak pada ke¬mam¬¬puan untuk mewujudkan keuntungan tidak langsung atau intangible benefit yang disebutkan di muka.

14. Dalam kerangka yang lebih makro suatu perekonomian me¬ru¬pakan suatu bangunan yang terdiri dari berbagai pelaku yang dikenal dengan kelompok produsen dan kelompok kon¬sumen. Di dalam suatu negara berkembang organisasi ekono¬mi dari masing-masing pelaku tadi menjadi semakin kompleks. Ka-rena selain pemerintah dan swasta (perusahaan swasta) se¬be¬nar¬nya masih ada dua kelompok lain yaitu koperasi dan sek¬tor rumah tangga. Kelompok yang disebut terakhir, perlu men¬dapatkan pencermatan tersendiri, karena mungkin ia dapat bera¬da di dalam koperasi, atau menjadi suatu unit usaha sen¬diri, atau merupakan pendukung usaha swasta yang ada. Inilah yang sebenarnya perlu kita lihat dalam kerangka yang lebih luas.

15. Secara konseptual dan empiris, mekanisme koperasi me¬mang diperlukan dan tetap diperlukan oleh suatu perekonomi¬an yang menganut sistem pasar. Besarnya peran tersebut akan sangat tergantung dari tingkat pendapatan masyarakat, tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat serta struktur pasar dari berbagai kegiatan ekonomi dan sumber daya alam dari sua¬tu negara. Contoh klasik dari pentingnya kondisi pasar yang kompatibel dengan kehadiran koperasi adalah pengalaman koperasi susu dimana-mana di dunia ini selalu menjadi contoh sukses (kasus bilateral monopoli). Padahal sukses ini tidak selalu dapat diikuti oleh jenis kegiatan produksi pertanian lainnya. Koperasi sebagai mekanisme kerjasama ekono¬mi juga tidak mengungkung dalam sistemnya sendiri yang ter¬ba¬tas pada sistem dan struktur koperasi, tetapi dalam inte¬rak¬si dapat meminjam mekanisme bisnis yang lazim dipakai oleh badan usaha non-koperasi. Termasuk dalam hal ini pem¬ben¬tukan usaha yang berbentuk non koperasi untuk memper¬ta¬hankan kemampuan pelayanan dan menegakkan mekanisme koperasi yang dimiliki.

IV. Posisi Koperasi dalam Perdagangan Bebas

16. Esensi perdagangan bebas yang sedang diciptakan oleh ba¬nyak negara yang ingin lebih maju ekonominya adalah meng¬¬hilangkan sebanyak mungkin hambatan perdagangan inter¬nasional. Melihat arah tersebut maka untuk melihat dampak¬nya terhadap perkembangan koperasi di tanah air dengan cara mengelompokkan koperasi ke dalam ketiga kelompok atas dasar jenis koperasi. Pengelompokan itu meliputi pembedaan atas dasar: (i) koperasi produsen atau koperasi yang bergerak di bidang produksi, (ii) koperasi konsumen atau koperasi kon¬sumsi, dan (iii) koperasi kredit dan jasa keuangan. Dengan cara ini akan lebih mudah mengenali keuntungan yang bakal timbul dari adanya perdagangan bebas para anggota koperasi dan anggota koperasinya sendiri.

17. Koperasi produsen terutama koperasi pertanian memang meru¬pa¬kan koperasi yang paling sangat terkena pengaruh per¬dagangan bebas dan berbagai liberalisasi. Koperasi pertanian di seluruh belahan dunia ini me¬mang selama ini menikmati proteksi dan berbagai bentuk sub¬sidi serta dukungan pemerintah. Dengan diadakannya pengaturan mengenai subsidi, tarif, dan akses pasar, maka produksi barang yang dihasilkan oleh ang¬gota koperasi tidak lagi dapat menikmati perlindungan seper¬ti semula, dan harus dibuka untuk pasaran impor dari ne¬gara lain yang lebih efisien.

18. Untuk koperasi-koperasi yang menangani komoditi sebagai pengganti impor atau ditutup dari persaingan impor jelas hal ini akan merupakan pukulan be¬rat dan akan menurunkan perannya di dalam percaturan pa¬sar kecuali ada rasionalisasi produksi. Sementara untuk koperasi yang menghasilkan barang pertanian untuk ekspor seperti minyak sawit, kopi, dan rempah serta produksi pertanian dan perikanan maupun peternakan lainnya, jelas perdagangan bebas merupakan peluang emas. Karena berbagai kebebasan tersebut berarti membuka peluang pasar yang baru. Dengan demikian akan memperluas pasar yang pada gilirannya akan merupakan peluang untuk pening¬katan produksi dan usaha bagi koperasi yang bersangkutan. Dalam konteks ini koperasi yang menangani produksi per¬tanian, yang selama ini mendapat kemudahan dan per¬lin¬dungan pemerintah melalui proteksi harga dan pasar akan meng¬hadapi masa-masa sulit. Karena itu koperasi produksi ha¬rus merubah strategi kegiatannya. Bahkan mungkin harus me-reorganisasi kembali supaya kompatibel dengan tantangan yang dihadapi. Untuk koperasi produksi di luar pertanian memang cukup sulit untuk dilihat arah pengaruh dari liberalisasi perdagangan terha¬dapnya. Karena segala sesuatunya akan sangat tergan¬tung di posisi segmen mana kegiatan koperasi dibedakan dari para anggotanya. Industri kecil misalnya sebenarnya pada saat ini relatif berhadapan dengan pasar yang lebih terbuka. Artinya mereka terbiasa dengan persaingan dengan dunia luar untuk memenuhi pemintaan ekspor maupun berhadapan dengan ba¬rang pengganti yang diimpor. Namun cara-cara koperasi juga dapat dikerjakan oleh perusahaan bukan koperasi.

19. Secara umum koperasi di dunia akan menikmati manfaat be¬sar dari adanya perdagangan bebas, karena pada dasarnya per¬dagangan bebas itu akan selalu membawa pada persaingan yang lebih baik dan membawa pada tingkat keseimbangan har¬ga yang wajar serta efisien. Peniadaan hambatan per-da¬gangan akan memperlancar arus perdagangan dan terbukanya pilih¬an barang dari seluruh pelosok penjuru dunia secara be¬bas. Dengan demikian konsumen akan menikmati kebebasan un¬tuk memenuhi hasrat konsumsinya secara optimal. Meluas¬nya konsumsi masyarakat dunia akan mendorong meluas dan mening¬katnya usaha koperasi yang bergerak di bidang konsumsi. Selain itu dengan peniadaan hambatan perdagangan oleh pe¬merintah melalui peniadaan non torif barier dan penurunan ta¬rif akan menyerahkan mekanisme seleksi sepenuhnya kepada ma¬syarakat. Koperasi sebenarnya menjadi wahana masyarakat un¬tuk melindungi diri dari kemungkinan kerugian yang timbul aki¬bat perdagangan bebas.

20. Kegiatan koperasi kredit, baik secara teoritis maupun em¬pi¬ris, terbukti mempunyai kemampuan untuk membangun seg¬men¬tasi pasar yang kuat sebagai akibat struktur pasar keuang¬an yang sangat tidak sempurna, terutama jika menyangkut masa¬lah informasi. Bagi koperasi kredit keterbukaan perda¬gangan dan aliran modal yang keluar masuk akan meru¬pakan kehadiran pesaing baru terhadap pasar keuangan, na¬mun tetap tidak dapat menjangkau para anggota koperasi. Apa¬bila koperasi kredit mempunyai jaringan yang luas dan me¬nu¬tup usahanya hanya untuk pelayanan anggota saja, maka seg¬mentasi ini akan sulit untuk ditembus pesaing baru. Bagi koperasi-koperasi kredit di negara berkembang, ada¬nya globalisasi ekonomi dunia akan merupakan peluang untuk menga¬dakan kerjasama dengan koperasi kredit di negara maju dalam membangun sistem perkreditan melalui koperasi. Koperasi kredit atau simpan pinjam di masa mendatang akan menjadi pilar kekuatan sekitar koperasi yang perlu diikuti oleh dukungan lainnya seperti sistem pengawasan dan jaminan.

V. Koperasi Dalam Era Otonomi Daerah

21. Implementasi undang-undang otonomi daerah, akan mem¬berikan dampak positif bagi koperasi dalam hal alokasi sum¬ber daya alam dan pelayanan pembinaan lainnya. Namun kope¬rasi akan semakin menghadapi masalah yang lebih intensif de¬ngan pemerintah daerah dalam bentuk penempatan lokasi inves¬tasi dan skala kegiatan koperasi. Karena azas efisiensi akan mendesak koperasi untuk membangun jaringan yang luas dan mungkin melampaui batas daerah otonom. Peranan advo¬kasi oleh gerakan koperasi untuk memberikan orientasi kepa¬da pemerintah di daerah semakin penting. Dengan demikian peranan pemerintah di tingkat propinsi yang diserahi tugas untuk pengembangan koperasi harus mampu menjalankan fung¬si intermediasi semacam ini. Mungkin juga dalam hal lain yang berkaitan dengan pemanfaatan infrastruktur daerah yang semula menjadi kewenangan pusat.

22. Peranan pengembangan sistem lembaga keuangan koperasi di tingkat Kabupaten / Kota sebagai daerah otonomi menjadi sangat penting. Lembaga keuangan koperasi yang kokoh di daerah otonom akan dapat menjangkau lapisan bawah dari ekonomi rakyat. Disamping itu juga akan mampu berperan menahan arus keluar sumber keuangan daerah. Berbagai studi menunjukan bahwa lembaga keuangan yang berbasis daerah akan lebih mampu menahan arus kapital keluar.

23. Dukungan yang diperlukan bagi koperasi untuk mengha¬dapi berbagai rasionalisasi adalah keberadaan lembaga jaminan kre¬dit bagi koperasi dan usaha kecil di daerah. Dengan demi¬kian kehadiran lembaga jaminan akan menjadi elemen terpenting untuk percepatan perkembangan koperasi di dae¬rah. Lembaga jaminan kredit yang dapat dikembangkan Pemerintah Daerah akan dapat mendesentralisasi pengem-bangan ekonomi rakyat dan dalam jangka panjang akan me¬num¬buhkan kemandirian daerah untuk mengarahkan aliran uang di masing-masing daerah. Dalam jangka menengah kope¬rasi juga perlu memikirkan asuransi bagi para penabung.

24. Potensi koperasi pada saat ini sudah mampu untuk memulai gerakan koperasi yang otonom, namun fokus bisnis koperasi harus diarahkan pada ciri universalitas kebutuhan yang tinggi seperti jasa keuangan, pelayanan infrastruktur serta pembelian bersama. Dengan otonomi selain peluang untuk memanfaatkan potensi setempat juga terdapat potensi benturan yang harus diselesaikan di tingkat daerah. Dalam hal ini konsolidasi potensi keuangan, pengem¬bangan jaringan informasi serta pengembangan pusat inovasi dan teknologi merupakan kebutuhan pendukung untuk kuat¬nya kehadiran koperasi. Pemerintah di daerah dapat mendo¬rong pengem¬bang¬an lembaga penjamin kredit di daerah.

VI. Penutup

25. Pendekatan pengembangan koperasi sebagai instrumen pembangunan terbukti menimbulkan kelemahan dalam menjadikan dirinya sebagai koperasi yang memegang prinsip-prinsip koperasi dan sebagai badan usaha yang kompetitif. Reformasi kelembagaan koperasi menuju koperasi dengan jati dirinya akan menjadi agenda panjang.

26. Dalam kerangka otonomi daerah perlu penataan lembaga keuangan koperasi (koperasi simpan pinjam) untuk memperkokoh pembiayaan kegiatan ekonomi di lapisan terbawah dan menahan arus ke luar potensi sumberdaya lokal yang masih diperlukan. Pembenahan ini akan merupakan elemen penting dalam membangun sistem pembiayaan mikro di tanah air.